Senin, 26 Desember 2016

Karakter-karakter berpikir filsafat di zaman yunani

Dilihat secara sederhana, secara umum filsafat di jaman Yunani sebagai awal mulainya filsafat secara akademik memiliki setidaknya karakter-karakter berpikir seperti dijelaskan di bawah ini:

a. Pemahaman mitologis ke pemahaman rasional
Ciri mendasar dari filsafat pada awal kelahirannya di Yunani kuno adalah penggeseran cara memahami alam atau dunia dan realitas yang berkenaan dengan manusia dan kehidupannya dari cara pemahaman mitologis ke cara pemahaman rasional. Melawan tradisi memahami alam dan persoalannya “dari luar” manusia, yakni selalu merujuk pada kepercayaan-kepercayaan mitologis yang ada dalam masyarakat Yunani yang menyembah banyak dewa-dewi, para filosof awal mencoba untuk memahami alam dan persoalannya “dari dalam”, yakni dari kemampuan yang ada dalam diri manusia yang berupa akal.
Dengan percaya pada kemampuan rasio, mereka mencoba memberikan jawaban-jawaban spekulatif tentang asal-usul alam, tentang siapa manusia dan eksistensinya di tengah alam semesta. Pergeseran ke cara berpikir dan memahami dunia melalui kemampuan rasional manusia itu sendiri secara otonom dan independen tanpa hegemoni pengetahuan di luar manusia yang sudah ada menjadi ciri yang menonjol di periode klasik dalam sejarah filsafat ini. Munculnya cara baru ini menimbulkan ketegangan dan konflik antara masyarakat kelas dominan yang sarat dengan keyakinan mitologis-religius dan para pemikir dan kritikus yang dikenal sebagai filosof. Contoh nyata konflik ini adalah eksekusi mati filosof besar pertama Yunani, Socrates.
b. Akal sebagai instrument otoritatif pemahaman
Para filosof awal Yunani mengenalkan bagaimana mereka memulai untuk mempercayai akal yang ada dalam diri manusia dalam memahami misteri kehidupan manusia. Akal menjadi instrumen otoritatif pemahaman manusia dalam menjawab persoalan-persoalan manusia dalam hubungannya dengan alam dan dunia di sekitarnya. Mereka lebih percaya pada kekuatan akal, bahkan Socrates sendiri meyakini dalam diri manusia terdapat kebenaran, yang ia bisa didorong termanifes keluar melalui proses dialektik, bertanya dan menjawab, bertanya dan menjawab demikian seterusnya sampai hakikat kebenaran bisa dimengerti.
Socrates menyebut cara ini dengan cara seperti seorang bidan yang membantu keluar bayi dari perut ibunya. Berpikir dialetik adalah cara membantu mengeluarkan kebenaran yang sudah ada dalam diri manusia, atau dalam akal manusia, yang kemudian cara akal menemukan kebenarannya sendiri ini populer dikenal dengan metode maieutik dialektis kritikal. Maieutika artinya kebidanan. Ibu Socrates berprofesi sebagai bidan, cara ibunya ini dipakainya untuk konteks pencarian kebenaran dalam dan melalui pikiran manusia. Dialektika berasal dari bahasa Yunani, dialegesthai yang berarti bercakap-cakap. Kritikal berarti mengajukan keberatan-keberatan yang dipandang ganjil, kontradiktif, dan tidak make sense atau masuk akal.
Dengan metode maieutik dialektis kritikal, dalam upaya menemukan hakikat kebenaran tentang sesuatu, Socrates melakukan percakapan dengan orang lain, bertanya untuk mendapatan jawaban, dan menyoal jawaban yang masih sulit untuk diterima dengan bertanya yang lebih dalam dengan berharap ada jawaban baru yang lebih bisa diterima akal, demikian seterusnya. Proses ini membantu manusia mengeluarkan kebenaran yang ada dalam jiwanya sendiri. Apa yang dilakukan Socrates yang terpenting yang perlu digarisbawahi adalah menempatkan akal sebagai alat otoritatif dalam menemukan kebenaran atau dalam memahami hakikat realitas. Cara ini telah menradisi sebelumnya dalam diri Thales, anaximenes, Pythagoras, dan lain sebagainya, dan semakin menguat sesudah Socrates.
c. Kosmosentrisme otonom
Filsafat Yunani awal lebih banyak berupa upaya menjawab persoalan tentang alam semesta. Para filosof mencoba menjawab asal-usul alam, bahan terdasar yang darinya alam ini tersusun, apakah hakikat gerak itu sebagaimana mereka mengamatinya sebagai fenomena alam, dan seterusnya. Seperti telah dikatakan, mereka menjawab sepenuhnya bergantung pada kekuatan akal, bukan bergantung pada pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada dalam kepercayaan-kepercayaan mitologis masyarakatnya. Filsafat mereka bercorak sangat kosmosentris.

Coraknya secara lebih tepat disebut kosmosentrisme otonom. Kosmosentrisme karena berfilsafatnya berpusat pada persoalan alam semesta. Otonom karena dalam menjawab masalah-masalah tentang alam semesta para filosof menggunakan kekuatan pemahaman rasional dalam diri manusia, tidak mengambil pengetahuan yang sudah ada di luar pikiran manusia. Mereka berpikir independen dengan kekuatan akal manusia dalam memahami alam semesta.

sumber : http://stiebanten.blogspot.co.id/2011/10/sejarah-filsafat.html

1 komentar: