Zaman (abad) pertengahan dikenal sebagai abad keemasan bagi dunia Kristen dan dibalik itu dunia filsafat dan ilmu pengetahuan terjadi kemunduran (jumud) bahkan pada masa ini filsafat dan ilmu pengetahuan adalah identik dengan agama. Sebab agama (Kristen) yang bersifat dogmatik cenderung menolak keberadaan filsafat dan ilmu, dianggap gerejalah sebagai pusat kebenaran (The Trust is in The Church). Jadi ukuran kebenaran adalah apa yang menjadi keputusan gereja, gereja sangat otoriter dan otoritas gereja harus ditegakkan.
Ekses yang dirasakan pada saat ini adalah tidak adanya kebebasan berpikir seperti yang dialami pada masa Trio filosof dan hasilnya banyak para pemikir yang dijebloskan kedalam penjara seperti Galile Galilio, Cicero adalah ilmuan dan pemikir kondang pada saat itu dan tidak ketinggalan adalah Copernicus seorang astronom.
Sedemikian berkuasanya dan dominannya gereja maka masa ini dikenal juga sebagai zaman Patristik dan Skolastik. Disebut zaman Patristik diambil dari kata Patres artinya Bapa-Bapa Gereja, yang mana fase ini dikuasai oleh para teolog dan tokoh gerejani, seperti Augustinus (354-430 AC). Kemudian disebut Skolastik berarti guru[8], atau sarjana yang menjadi pengajar seperti Thomas van Aquinas (1225-1274 AC) dan Bonaventura (1217-1274 AC).
a. Pemahaman rasional ke pemahaman dogmatis religius
Abad pertengahan sering disebut sebagai jaman agama-agama. Agama-agama telah menjadi cara pandang dunia manusia. Para filosof pada era ini memang tidak sepenuhnya menolak berpikir rasional, namun mereka tidak mempercayai kebenaran akal kecuali sejalan dengan dogma-dogma religius. Mereka menempatkan dogma religius lebih dulu daripada kebenaran rasional. Pemikiran rasional dalam periode Pertengahan dari sejarah filsafat tidak berjalan otonom dan independen, dan sebagai gantinya ia menjadi budak teologi. Salah satu karakter dasar dari filsafat Abad Tengah adalah ketiadaan kemandirian yang penuh dari akal, dia bekerja sebagai pembenar dogma-dogma agama. Pemikiran rasional digeser oleh pemahaman dogmatis religius. Sejarah telah memberitahu kita bagaimana kasus Galileo yang menyuarakan kembali teori astronomi heliosentrisme harus menghadapi hujatan dan ancaman Gereja yang menetapkan teori geosentrisme sebagai kebenaran dogmatis Gereja.
b. Dogmatisme religius sebagai kebenaran otoritatif
b. Dogmatisme religius sebagai kebenaran otoritatif
Fakta rasio sebagai abdi dogmatisme teologis di Abad Pertengahan telah menempatkan dogmatisme religius sebagai sebagai kebenaran otoritatif. Kebenaran rasional yang dipandang tidak bisa dipegangi mendorong para filosof menggunakan akal sebagai alat pendukung dan justifikasi atas kebenaran dogmatisme religius yang telah ditetapkan oleh para otoritas religius. Berfilsafat pada era ini adalah berteologi. Kritik terhadap dogmatisme religius merupakan suatu kesalahan. Padahal boleh jadi agamanya sendiri belum tentu mengatakan seperti yang diberikan oleh hasil pemahaman religus, yakni suatu dogmatisme religus tertentu. Kritik akal terhadap teologi tidak harus dimengerti menentang kebenaran religius, melainkan bisa dimengerti sebagai pelurusan kesalahan pemahaman religius. Namun, dalam era ini, dogimatisme religius telah menjadi ukuran kebenaran yang harus diikuti. Ini merupakan kenyataan sejarah yang tak bisa diingkari pada sejarah filsafat dan Gereja di Abad Pertengahan.
c. Teosentrisme dan kosmosentrisme heteronom
Filsafat Abad Pertengahan yang tabu melakukan kritik terhadap teologi atau dogmatisme religius yang dipegangi saat itu telah mendorong filsafat berkarakter pembenar teologi. Seluruh realitas dijelaskan dan dibenarkan oleh dogma-dogma agama, dan filsafat hanya berusaha menguatkan kebenaran dogma-dogma agama tersebut. Dogma-dogma religius diyakini sebagai benar yang tak boleh disalahkan karena datang dari Tuhan. Filsafat di era ini, oleh karenanya dicirikan secara fundamental dengan teosentrisme, karena pusat filsafat mereka adalah teologi. Mereka juga mencoba menjawab persoalan-persoalan terkait dengan alam semesta atau kosmos seperti para filosof Yunani, hanya saja cara filosof-filosof Abad Pertengahan menjawab persoalan-persoalan tersebut tidak menggunakan rasio secara independen seperti halnya para filosof Yunani, karena mereka menjawabnya dengan menggunakan dogma-dogma religius yang ada. Kosmosentrisme pada era ini bukan bersifat otonom, melainkan heteronom, yakni menjawab misteri alam dengan menggantungkan jawabannya pada jawaban yang sudah ada di dalam dogma-dogma agama.
sumber : http://stiebanten.blogspot.co.id/2011/10/sejarah-filsafat.html
makasih udah share kak
BalasHapusaxis