Kamis, 22 Desember 2016

Filsafat Manusia dan Ilmu-Ilmu Tentang Manusia

Ilmu-ilmu tentang manusia sebagai ilmu yang bersifat positivistic, atau ilmu-ilmu tentang manusai yang di dalam penelitian-penelitian dan penjelasan-penjaleasannya menggunakan metodologi ilmu-ilmu alam fisik. Konsekuensi dari penggunaam metode seperti itu (wujudn nyatanya berupa metode yagn bersifaat observasional dan/atau eksperimental) di dalam ilmu-ilmu tentang manusia. Ilmu-ilmu tentang manusia juga memiliki sisi “negatif”, pertama-tama tampak dari ruang lingkupnya yang serba terbatas. Ilmu-ilmu tentang manusia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang manusia.
Cara kerja ilmu pun (terpaksa) menjadi fragmentaris. Keterbatasan metode observasi dan eksperimentasi tidak memungkinkan ilmu-ilmu tentang manusia untuk melihat gejala manusia secara utuh dan menyeluruh. Hanya aspek-aspek tertentu dari manusia yang bisa disentuh oleh ilmu tersebut.
Sejumlah filsuf modern mengecam keras gejala fragmentarisme. Menurut mereka, munculnya ilmu-ilmu baru tentang manusia dan tumbuh pesatnya spesialisasi-spesialisasi di dalam ilmu-ilmu tentang manusia, tidak dengan sendirinya membantu mengtahui manusai secara utuh dan menyeluruh, melainkan mengaburkan dan mencrai-beraikan pemahaman tentang manusia. Salah satu kritik dilontarkan oleh Max Scheller.
Meskipun demikian harus diakui bahwa terdapat banyak aspek positif yang bisa dipetik dari hasil penelitian ilmu tentang manusia, baik ditinjau dari kegunaan dan aplikasi praktisnya, maupun dari akumulasi teoritisnya. Contohnya ilmu psikologi, sosiologi, dan antropologi yang secara langsung dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan ilmu-ilmu tentang manusia, filsafat manusia menggunakan metode sintesis dan reflektif, mempunyai ciri-ciri ekstensif, intensif, dan kritis. Penggunaan metode sintesis dalam filsafat manusia, yang mensintesis pengalaman dan pengetahuan ke dalam satu visi, tampak misalnya dari sitem besar filsafat Bergson tentang “daya penggerak hidup”. Dengan metode sintesis maka tercapailah visi menyeluruh dan rasional tentang (hakikat) manusia.
Penggunaan metode refleksi dalam filsafat manusia tampak dari pemikiran-pemikiran filsafati besar seperti yang dikembangkan misalnya oleh Descartes, Kant, Edmund Husserl, Karl Jaspers, dan Jean Paul Sartre . Refleksi menurut filsuf Paul Ricoeur menunjukkan pada dua hal : pertama, pada pertanyaan tentang esensi sesuatu hal; dan kedua pada proses pemahaman diri berdasarkan pada totalitas gejala dan kejadian manusia yang sedang direnungkannya. Filsuf yang sedang berfilsafat pada kenyataannya bukan hanya berusaha memahami esensi manusia, tetapi juga hendak memahami dirinya sendiri di dalam pemahaman tentang esensi manusia.
Secara umum bisa dikatakan bahwa tidak mustahil terdapat keterlibatan pribadi dan pengalaman subjektif dari bebrapa filsuf tersebut, pada setiap pemikiran filsafati mereka. Kemungkinan terlibatnya pengalaman pribadi dan pengalaman “subjektif”, seperti yang terdapat dalam filsafat manusia, paling tidak secara ideal, sedapat mungkin dihindarkan dari ilmu-ilmu tenang manusia. Ilmu harus bersifat netral atau bebas nilai.

Kalau begitu ada yang khas pada filsafat manusia dan tidak terdapat dalam ilmu-ilmu tentang manusia . kalau ilmu adalah netral dan bebas nilai, maka bisa dikatakan ilm berkenaan hanya dengan das Sein (kenyataan sebagaimana adanya). Sebaliknya di dalam filsafat manusia, bukan hanya das Sein yang dipertimbangkan, tetapi juga das Sollen (kenyataan yang seharusnya). Ini berarti bahwa nilai yang selain dianggap subjektif tetapi juga ideal.

sumber : filsafat manusia (zainal abidin, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar