Ilmu-ilmu tentang
manusia sebagai ilmu yang bersifat positivistic, atau ilmu-ilmu tentang manusai
yang di dalam penelitian-penelitian dan penjelasan-penjaleasannya menggunakan
metodologi ilmu-ilmu alam fisik. Konsekuensi dari penggunaam metode seperti itu
(wujudn nyatanya berupa metode yagn bersifaat observasional dan/atau
eksperimental) di dalam ilmu-ilmu tentang manusia. Ilmu-ilmu tentang manusia
juga memiliki sisi “negatif”, pertama-tama tampak dari ruang lingkupnya yang
serba terbatas. Ilmu-ilmu tentang manusia tidak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang manusia.
Cara kerja ilmu pun
(terpaksa) menjadi fragmentaris. Keterbatasan metode observasi dan
eksperimentasi tidak memungkinkan ilmu-ilmu tentang manusia untuk melihat
gejala manusia secara utuh dan menyeluruh. Hanya aspek-aspek tertentu dari
manusia yang bisa disentuh oleh ilmu tersebut.
Sejumlah filsuf modern
mengecam keras gejala fragmentarisme. Menurut mereka, munculnya ilmu-ilmu baru
tentang manusia dan tumbuh pesatnya spesialisasi-spesialisasi di dalam
ilmu-ilmu tentang manusia, tidak dengan sendirinya membantu mengtahui manusai
secara utuh dan menyeluruh, melainkan mengaburkan dan mencrai-beraikan
pemahaman tentang manusia. Salah satu kritik dilontarkan oleh Max Scheller.
Meskipun demikian harus
diakui bahwa terdapat banyak aspek positif yang bisa dipetik dari hasil
penelitian ilmu tentang manusia, baik ditinjau dari kegunaan dan aplikasi
praktisnya, maupun dari akumulasi teoritisnya. Contohnya ilmu psikologi,
sosiologi, dan antropologi yang secara langsung dapat dimanfaatkan dan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan
ilmu-ilmu tentang manusia, filsafat manusia menggunakan metode sintesis dan reflektif,
mempunyai ciri-ciri ekstensif, intensif, dan kritis. Penggunaan metode sintesis
dalam filsafat manusia, yang mensintesis pengalaman dan pengetahuan ke dalam
satu visi, tampak misalnya dari sitem besar filsafat Bergson tentang “daya
penggerak hidup”. Dengan metode sintesis maka tercapailah visi menyeluruh dan
rasional tentang (hakikat) manusia.
Penggunaan metode
refleksi dalam filsafat manusia tampak dari pemikiran-pemikiran filsafati besar
seperti yang dikembangkan misalnya oleh Descartes, Kant, Edmund Husserl, Karl
Jaspers, dan Jean Paul Sartre . Refleksi menurut filsuf Paul Ricoeur
menunjukkan pada dua hal : pertama,
pada pertanyaan tentang esensi sesuatu hal; dan kedua pada proses pemahaman diri berdasarkan pada totalitas gejala
dan kejadian manusia yang sedang direnungkannya. Filsuf yang sedang berfilsafat
pada kenyataannya bukan hanya berusaha memahami esensi manusia, tetapi juga
hendak memahami dirinya sendiri di dalam pemahaman tentang esensi manusia.
Secara umum bisa
dikatakan bahwa tidak mustahil terdapat keterlibatan pribadi dan pengalaman
subjektif dari bebrapa filsuf tersebut, pada setiap pemikiran filsafati mereka.
Kemungkinan terlibatnya pengalaman pribadi dan pengalaman “subjektif”, seperti
yang terdapat dalam filsafat manusia, paling tidak secara ideal, sedapat
mungkin dihindarkan dari ilmu-ilmu tenang manusia. Ilmu harus bersifat netral
atau bebas nilai.
Kalau begitu ada yang khas pada
filsafat manusia dan tidak terdapat dalam ilmu-ilmu tentang manusia . kalau ilmu
adalah netral dan bebas nilai, maka bisa dikatakan ilm berkenaan hanya dengan das Sein (kenyataan sebagaimana adanya).
Sebaliknya di dalam filsafat manusia, bukan hanya das Sein yang dipertimbangkan, tetapi juga das Sollen (kenyataan yang seharusnya). Ini berarti bahwa nilai
yang selain dianggap subjektif tetapi juga ideal.
sumber : filsafat manusia (zainal abidin, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar