Sabtu, 31 Desember 2016

[INDEX] Daftar Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan

1. Sekilas Tentang Pengertian Filsafat
2. Thales ahli filsafat matematika
3. 10 Manfaat Belajar Filsafat Bagi Kehidupan
4. Sekilas Tentang Filsafat Matematika
5. biografi immanuel kant
6. apa yang menjadi persoalan filsafat
7. posisi Al-Quran dalam filsafat pendidikan islam
8. Filosofi lambang UNTIRTA
9. Sistematika belajar filsafat yang baik
10. Kutipan prosa dari kata "kopi"
11. Aristoteles : Bapak ilmu pengetahuan
12. filosofi warna kuning
13. Makna warna hijau
14. landasan filosofis pendidikan
15. Filosofis sebagai landasan pengembangan kurikulum
16. Filosofi lambang atau logo Banten
17. Filsafat matematika (Paul Ernest)
18. Pandangan absolutis dalam pengetahuan matematika
19. Ali bin Abi Thalib dan Ibu Sina ( tokoh filsafat matematika) beserta penemuannya
20. Wilayah filsafat matematika
21. Filosofi bunga lambang cinta abadi
22. Filosofi pohon seribu guna (Kelapa)
23. Filosofi logo Kabupaten Tangerang
24. Pandangan Absolutis dalam Pengetahuan Matematika
25. Filosofi warna biru bagi kehidupan
26. 3 H {head,heart,hand} maknanya bagi pemimpin
27.Penjelasan sifat orang yang lahir tgl 1-5 menurut juz Al-Qur'an
28. Angka 8 dalam kehidupan
29.Orang yang lahir tanggal 6-10 berdasarkan Juz Al-Quran
30,Orang yang lahir tanggal 11-15 didasarkan pada juz Al-Quran
31. Arti tanggal lahir ditinjau dari surat 1-10 yang ada di Al-Qur,an 
32. Arti tanggal lahir ditinjau dari surat 11-20 yang ada di Al-Qur,an 
33. Arti tanggal lahir menurut surah 21-31 di Al-Qur,an 
34. Hadits tentang waktu
35. Ciri-ciri filsafat
36. Pengertian metafisika
37. kedudukan wanita dalam Al-Quran
38. Artikel Fatawa
39. Filosofi wanita sebagai tulang rusuk laki-laki
40. Wanita dalam pandangan islam
41. 16 keistimewaan wanita dalam islam
42. Rahasia puasa ramadhan menurut imam Ghazali
43. Quote hujan
44. Makna bunga dengan bulan kelahiran januari-maret
45. Makna bunga dengan bulan kelahiran april-juni
46. Makna bunga dengan bulan kelahiran juli-september
47. Makna bunga dengan bulan kelahiran oktober-desember
48. 3 hal yang dianggap penting dalam filsafat dan pendidikan
49. Platonisme
50. Alasan empiris kuasi dapat dikritik
51. Empiris kuasi
52. Epistemologi
53. Pendekatan mempelajari filsafat
54. Pengertian hikmah dan filsafat
55. Dalil suruhan untuk membaca Al-Qur'an menggunakan tajwid
56. Hukum tajwd nun mati atau tanwin dan mim mati
57. Hukum bacaan tajwid mim dan nun tasyid, alif lam dan idgham
58. Hukum tajwid mad dan ra'
59. hukum bacaan tajwid qalqalah
60. Pengertian filsafat manusia
61. Ruang lingkup filsafat manusia
62.Filsafat Manusia dan Ilmu-Ilmu Tentang Manusia
63. Ciri-Ciri Filsafat Manusia
64. Manfaat Mempelajari Filsafat Manusia
65. Sosiologi Pengetahuan
66. Kesimpulan : Teori matematika global
67. Pengetahuan subjektif
68. Matematika adalah Sembarang dan Relatif
69. Keberatan-keberatan atas konstruktivisme sosial
70. Pendekatan kontekstual (dalam pembelajaran)
71. Pendekatan pembelajaran konstruktivisme
72.Pendekatan ppembelajaran induktif dan deduktif
73.Pendekatan Pembelajaran Konsep dan Proses
74.Psikologi pendidikan
75.Prinsip-prinsip demokrasi
76. Kejadian dan asal-usul manusia pertama sampai ketiga
77. Hakikat evaluasi kurikulum
78. Dimensi evaluasi kurikulum
79. Aliran absolutis progresif
80. Pendapat pakar tentang filsafat ilmu
81. Pengertian filsafat sosial
82. Ruang lingkup filsafat sosial
83. Bahan filsafat sosial
84. Hubungan Filsafat sosial dan sosiologi
85. Manfaat filsafat sosial
86. Hidup ibarat filsafat (filsafat hidup)
87. Pengertian Landasan Antropologi
88. Sejarah Perkembangan Landasan Antropologi Dalam Pendidikan
89. Manfaat antropologi dalam pendidikan
90. Objek kajian antropologi agama
91. Pendekatan Etnologis-Antropologis
92. Manfaat Antropologi Agama
93. Ruang lingkup filsafat
94. Persoalan Asal-Usul Filsafat
95. FIlsafat dalam priode Pra-sejarah
96. Filsafat dalam Periode Klasik
97. Karakter-karakter berpikir filsafat di zaman yunani
98. Filsafat dalam Periode Pertengahan
99. Filsafat dalam Periode Modern
100. Filsafat dalam Periode Kontemporer

Senin, 26 Desember 2016

Filsafat dalam Periode Kontemporer

Agama, ilmu, dan sumber pengetahuan lain: masalah diversitas epistemologi
b. Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mempertimbangkan nilai lingkungan dan tradisi
c. Paradigma interkoneksitas antara Agama, ilmu (science), dan sumber pengetahuan lain
d. Dari nalar objektivisme-justifikatif ke nalar kritis-komunikatif
e. Akal dikondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrument pemahaman tidak terlepas atau terkondisikan oleh realitas/diversitas-pluralitas nalar & nilai
f. Pergeseran sosial politik: Monokultulaisme ke multikulturalisme/nasionalisme ke internasionalisme

Filsafat dalam Periode Modern

Periode modern dari sejarah filsafat biasanya dimulai dari filosof-filosof pada Abad ke-16 sampai Abad ke-19. Periode modern mulai dari filosof-filosof Abad ke-16 seperti Francis Bacon dan Thomas Hobbes; kemudian filosof-filosof Abad- ke-17 seperti Rene Descartes, Baruch de Spinoza, dan Leibnizt; lalu filosof-filosof Abad ke-18 seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume, dan akhirnya filosof-filosof Abad ke-19, seperti Immanuel Kant, Hegel, Schopenhauer, dan Nietzsche.

Filsafat modern membalikkan paradigma filsafat abad tengah, skolastisisme. Karakter dari filsafat abad pertengahan memandang alam semesta dalam logika hirarkhi wujud atau konsepsi organis tentang alam semesta ini yang berujung pada Tuhan sebagai puncak dari hirarkhi ini. Segala penyingkapan pengetahuan dihubungkan dengan keberadaan Tuhan. Filosof-filosof modern tidak berarti menyalahkan begitu saja proses berfilsafat seperti ini, namun yang menjadi pertanyaan besar mereka adalah ketidakterbukaannya pada cara-cara objektif dalam melihat dan mengetahui alam dan kebebasan kritis manusia dalam mengupayakan kebenaran.

Francis Bacon, misalnya, di masa kemunduran filsafat abad pertengahan, mengritik cara-cara mengetahui yang mencampuradukkan gejala-gejala alam objektif dengan kepercayaan-kepercayaan mitologis dan religius. Cara-cara ini telah membengkokkan ilmu-ilmu perbintangan dan planet-planet yang seharusnya berupa astronomi menjadi astrologi; ilmu-ilmu alam yang seharusnya dibangun pada penyelidikan empiris menjadi ilmu-ilmu alam magis. Francis Bacon menawarkan cara mengetahui alam dengan mengamati gejala-gejalanya secara induktif. Menemukan hukum-hukum alam dari alam itu sendiri, sehingga manusia bisa menguasai dan mengontrol alam; bukan memahami alam dengan mengkaitkan dengan cerita-cerita mitologis sehingga manusia di bawa pada ketakutan dan ketidakberdayaan pada alam.

Jika Francis Bacon bereaksi terhadap filsafat abad pertengahan dengan mengambil fokus pada cara-cara induktif mengetahui alam, Réné Descartes bereaksi dengan mengambil fokus pada ketiadaan kebebasan manusia dalam berpikir. Dalam memahami realitas manusia selalu dipaksa tunduk pada doktrin-doktrin pengetahuan yang sudah ada, dan seolah potensi pengetahuan dalam diri manusia sendiri tidak boleh diaktualisasikan berseberangan dengan teori-teori pengetahuan yang sudah ada. Rasionalismenya dengan slogan filosofisnya yang sangat terkenal, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, telah menggugah masyarakat Eropa waktu itu bahwa ada bergantung pada manusia itu sendiri selama dia mau berpikir. Sejak saat itu, subjektivisme menjadi ciri filsafat baru. Subjektivisme yang dimaksud adalah kesadaran baru bahwa manusia adalah subjek realitas atau pusat realitas, menggantikan Tuhan yang selalu menjadi pusat pembicaraan. Kebebasan berpikir berkembang dan karenanya humanisme, paham yang mencoba menggali pengertian manusia dan maksud menjadi manusia, berkembang pesat. Karena pikirannya inilah, kemudian Descartes disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern. Sebenarnya, Francis Bacon pun pantas disebut sebagai filsafat modern dari segi tawaran barunya dalam mengerti alam yang bukan lagi dalam logika organisisme melainkan mekanisme; yakni dari memahami alam yang hanya sekedar berupa hubungan antar wujud-wujud yang digerakkan dan dihidupkan oleh Wujud Tertinggi berubah memahami alam dari alam secara objektif dengan mencari hukum-hukum dan mekanika-mekanika alam secara objektif yang ditemukan dengan cara-cara induktif.

Bocheński menggarisbawahi filsafat modern dua prinsip fundamental, yaitu mechanism dan subjectivism. Mekanisme sebagai prinsip dari filsafat modern adalah pemahaman alam sebagaimana diinginkan oleh Francis Bacon. Yang perlu dikembangkan manusia dalam memahami alam dengan paradigma mekanisme adalah tidak lagi memperpanjang cara mengetahui alam sebagai diciptakan dan dikuasai oleh Tuhan atau kekuatan-kekuatan mitologis dari kepercayaan-kepercayaan animistik, dan sebagai gantinya, mengatahui alam dengan melihat alam dari alam itu sendiri, belajar dari alam untuk mengerti hukum-hukum pastinya dan hidup dengannya. Subjektivisme yang dia maksudkan adalah pandangan yang mengalihkan manusia dari konsentrasi sebelumnya pada Tuhan dan menggantinya dengan manusia atau subjek sebagai pusat perhatiannya.

Dengan mengamati karakter pokok dari filsafat modern yang lahir dari respon kritikal terhadap cara berfilsafat Abad Pertengahan, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dasar dari filsafat modern adalah sebagai berkut:

a. Reformasi keagamaan
Filsafat modern tidak akan lahir jika tanpa ada gerakan internal keagamaan yang menentang hegemoni Gereja Abad Tengah. Dalam padangan para Kristiani yang melakukan gerakan protes keagamaan, Gereja tidak hanya bermasalah dengan kebebasan berpikir, kebebasan berpolitik, dan kebebasan berilmu pengetahuan, namun juga bermasalah dengan kemurnian agama Kristen itu sendiri. Gerakan protes keagamaan ini dikenal dengan gerakan reformasi keagamaan yang dipimpin oleh Martin Luther King. Inti dari gerakan ini adalah purifikasi keagamaan. Kristen telah dinodai oleh Gereja penguasa waktu itu. Mereka bermaksud membongkar borok-borok praktek keagamaan Gereja waktu itu yang menurut mereka telah menyimpang dari pesan substansial dari agam Kristen. Gerakan ini kemudian memuculkan aliran keagamaan baru yang dikenal dengan Kristen Protestan.
Kritik dan protes dari orang-orang beragama sendiri telah menggoyang hegemoni Gereja dari dalam. Gerakan reformasi keagamaan ini mengawali keruntuhan kekuasaan Gereja Abad Pertengahan yang sangat dominan. Gerakan kritik dan protes ini memberi dorongan yang kuat bagi komunitas lain selain agamawan, yaitu filosof, seniman, dan ilmuwan.
b. Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mengabaikan tabu-tabu yang menyelimuti perkembangan pemikiran manusia
c. Meningkatnya otoritas Ilmu (science) 
d. Pergeseran otoritas pemerintahan: Negara-bangsa menggantikan gereja
e. Pergeseran paradigma sosial: Feodalisme ke kapitalisme/labour intensive to capital intensive
f. Humanisme liberal/manusia sebagai fokus sentral/antroposentrisme
g. Akal mengkondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrument objektivasi realitas/uniformisasi-homogenisasi nalar & nilai

sumber : http://stiebanten.blogspot.co.id/2011/10/sejarah-filsafat.html

Filsafat dalam Periode Pertengahan

Periode pertengahan dari sejarah filsafat adalah periode antara Abad ke-8 sampai dengan Abad ke-15. Periode pertengahan biasanya memasukkan pemikiran filosof-filosof seperti St. Anselm, St. Thomas Aquinas, Duns Scotus, William of Ockham, Maimonide, dan termasuk para filosof muslim, seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rushd, dll.

Zaman (abad) pertengahan dikenal sebagai abad keemasan bagi dunia Kristen dan dibalik itu dunia filsafat dan ilmu pengetahuan terjadi kemunduran (jumud) bahkan pada masa ini filsafat dan ilmu pengetahuan adalah identik dengan agama. Sebab agama (Kristen) yang bersifat dogmatik cenderung menolak keberadaan filsafat dan ilmu, dianggap gerejalah sebagai pusat kebenaran (The Trust is in The Church). Jadi ukuran kebenaran adalah apa yang menjadi keputusan gereja, gereja sangat otoriter dan otoritas gereja harus ditegakkan.
Ekses yang dirasakan pada saat ini adalah tidak adanya kebebasan berpikir seperti yang dialami pada masa Trio filosof dan hasilnya banyak para pemikir yang dijebloskan kedalam penjara seperti Galile Galilio, Cicero adalah ilmuan dan pemikir kondang pada saat itu dan tidak ketinggalan adalah Copernicus seorang astronom.
Sedemikian berkuasanya dan dominannya gereja maka masa ini dikenal juga sebagai zaman Patristik dan Skolastik. Disebut zaman Patristik diambil dari kata Patres artinya Bapa-Bapa Gereja, yang mana fase ini dikuasai oleh para teolog dan tokoh gerejani, seperti Augustinus (354-430 AC). Kemudian disebut Skolastik berarti guru[8], atau sarjana yang menjadi pengajar seperti Thomas van Aquinas (1225-1274 AC) dan Bonaventura (1217-1274 AC).
a. Pemahaman rasional ke pemahaman dogmatis religius
Abad pertengahan sering disebut sebagai jaman agama-agama. Agama-agama telah menjadi cara pandang dunia manusia. Para filosof pada era ini memang tidak sepenuhnya menolak berpikir rasional, namun mereka tidak mempercayai kebenaran akal kecuali sejalan dengan dogma-dogma religius. Mereka menempatkan dogma religius lebih dulu daripada kebenaran rasional. Pemikiran rasional dalam periode Pertengahan dari sejarah filsafat tidak berjalan otonom dan independen, dan sebagai gantinya ia menjadi budak teologi. Salah satu karakter dasar dari filsafat Abad Tengah adalah ketiadaan kemandirian yang penuh dari akal, dia bekerja sebagai pembenar dogma-dogma agama. Pemikiran rasional digeser oleh pemahaman dogmatis religius. Sejarah telah memberitahu kita bagaimana kasus Galileo yang menyuarakan kembali teori astronomi heliosentrisme harus menghadapi hujatan dan ancaman Gereja yang menetapkan teori geosentrisme sebagai kebenaran dogmatis Gereja.

b. Dogmatisme religius sebagai kebenaran otoritatif
Fakta rasio sebagai abdi dogmatisme teologis di Abad Pertengahan telah menempatkan dogmatisme religius sebagai sebagai kebenaran otoritatif. Kebenaran rasional yang dipandang tidak bisa dipegangi mendorong para filosof menggunakan akal sebagai alat pendukung dan justifikasi atas kebenaran dogmatisme religius yang telah ditetapkan oleh para otoritas religius. Berfilsafat pada era ini adalah berteologi. Kritik terhadap dogmatisme religius merupakan suatu kesalahan. Padahal boleh jadi agamanya sendiri belum tentu mengatakan seperti yang diberikan oleh hasil pemahaman religus, yakni suatu dogmatisme religus tertentu. Kritik akal terhadap teologi tidak harus dimengerti menentang kebenaran religius, melainkan bisa dimengerti sebagai pelurusan kesalahan pemahaman religius. Namun, dalam era ini, dogimatisme religius telah menjadi ukuran kebenaran yang harus diikuti. Ini merupakan kenyataan sejarah yang tak bisa diingkari pada sejarah filsafat dan Gereja di Abad Pertengahan.
c. Teosentrisme dan kosmosentrisme heteronom
Filsafat Abad Pertengahan yang tabu melakukan kritik terhadap teologi atau dogmatisme religius yang dipegangi saat itu telah mendorong filsafat berkarakter pembenar teologi. Seluruh realitas dijelaskan dan dibenarkan oleh dogma-dogma agama, dan filsafat hanya berusaha menguatkan kebenaran dogma-dogma agama tersebut. Dogma-dogma religius diyakini sebagai benar yang tak boleh disalahkan karena datang dari Tuhan. Filsafat di era ini, oleh karenanya dicirikan secara fundamental dengan teosentrisme, karena pusat filsafat mereka adalah teologi. Mereka juga mencoba menjawab persoalan-persoalan terkait dengan alam semesta atau kosmos seperti para filosof Yunani, hanya saja cara filosof-filosof Abad Pertengahan menjawab persoalan-persoalan tersebut tidak menggunakan rasio secara independen seperti halnya para filosof Yunani, karena mereka menjawabnya dengan menggunakan dogma-dogma religius yang ada. Kosmosentrisme pada era ini bukan bersifat otonom, melainkan heteronom, yakni menjawab misteri alam dengan menggantungkan jawabannya pada jawaban yang sudah ada di dalam dogma-dogma agama.

sumber : http://stiebanten.blogspot.co.id/2011/10/sejarah-filsafat.html

Karakter-karakter berpikir filsafat di zaman yunani

Dilihat secara sederhana, secara umum filsafat di jaman Yunani sebagai awal mulainya filsafat secara akademik memiliki setidaknya karakter-karakter berpikir seperti dijelaskan di bawah ini:

a. Pemahaman mitologis ke pemahaman rasional
Ciri mendasar dari filsafat pada awal kelahirannya di Yunani kuno adalah penggeseran cara memahami alam atau dunia dan realitas yang berkenaan dengan manusia dan kehidupannya dari cara pemahaman mitologis ke cara pemahaman rasional. Melawan tradisi memahami alam dan persoalannya “dari luar” manusia, yakni selalu merujuk pada kepercayaan-kepercayaan mitologis yang ada dalam masyarakat Yunani yang menyembah banyak dewa-dewi, para filosof awal mencoba untuk memahami alam dan persoalannya “dari dalam”, yakni dari kemampuan yang ada dalam diri manusia yang berupa akal.
Dengan percaya pada kemampuan rasio, mereka mencoba memberikan jawaban-jawaban spekulatif tentang asal-usul alam, tentang siapa manusia dan eksistensinya di tengah alam semesta. Pergeseran ke cara berpikir dan memahami dunia melalui kemampuan rasional manusia itu sendiri secara otonom dan independen tanpa hegemoni pengetahuan di luar manusia yang sudah ada menjadi ciri yang menonjol di periode klasik dalam sejarah filsafat ini. Munculnya cara baru ini menimbulkan ketegangan dan konflik antara masyarakat kelas dominan yang sarat dengan keyakinan mitologis-religius dan para pemikir dan kritikus yang dikenal sebagai filosof. Contoh nyata konflik ini adalah eksekusi mati filosof besar pertama Yunani, Socrates.
b. Akal sebagai instrument otoritatif pemahaman
Para filosof awal Yunani mengenalkan bagaimana mereka memulai untuk mempercayai akal yang ada dalam diri manusia dalam memahami misteri kehidupan manusia. Akal menjadi instrumen otoritatif pemahaman manusia dalam menjawab persoalan-persoalan manusia dalam hubungannya dengan alam dan dunia di sekitarnya. Mereka lebih percaya pada kekuatan akal, bahkan Socrates sendiri meyakini dalam diri manusia terdapat kebenaran, yang ia bisa didorong termanifes keluar melalui proses dialektik, bertanya dan menjawab, bertanya dan menjawab demikian seterusnya sampai hakikat kebenaran bisa dimengerti.
Socrates menyebut cara ini dengan cara seperti seorang bidan yang membantu keluar bayi dari perut ibunya. Berpikir dialetik adalah cara membantu mengeluarkan kebenaran yang sudah ada dalam diri manusia, atau dalam akal manusia, yang kemudian cara akal menemukan kebenarannya sendiri ini populer dikenal dengan metode maieutik dialektis kritikal. Maieutika artinya kebidanan. Ibu Socrates berprofesi sebagai bidan, cara ibunya ini dipakainya untuk konteks pencarian kebenaran dalam dan melalui pikiran manusia. Dialektika berasal dari bahasa Yunani, dialegesthai yang berarti bercakap-cakap. Kritikal berarti mengajukan keberatan-keberatan yang dipandang ganjil, kontradiktif, dan tidak make sense atau masuk akal.
Dengan metode maieutik dialektis kritikal, dalam upaya menemukan hakikat kebenaran tentang sesuatu, Socrates melakukan percakapan dengan orang lain, bertanya untuk mendapatan jawaban, dan menyoal jawaban yang masih sulit untuk diterima dengan bertanya yang lebih dalam dengan berharap ada jawaban baru yang lebih bisa diterima akal, demikian seterusnya. Proses ini membantu manusia mengeluarkan kebenaran yang ada dalam jiwanya sendiri. Apa yang dilakukan Socrates yang terpenting yang perlu digarisbawahi adalah menempatkan akal sebagai alat otoritatif dalam menemukan kebenaran atau dalam memahami hakikat realitas. Cara ini telah menradisi sebelumnya dalam diri Thales, anaximenes, Pythagoras, dan lain sebagainya, dan semakin menguat sesudah Socrates.
c. Kosmosentrisme otonom
Filsafat Yunani awal lebih banyak berupa upaya menjawab persoalan tentang alam semesta. Para filosof mencoba menjawab asal-usul alam, bahan terdasar yang darinya alam ini tersusun, apakah hakikat gerak itu sebagaimana mereka mengamatinya sebagai fenomena alam, dan seterusnya. Seperti telah dikatakan, mereka menjawab sepenuhnya bergantung pada kekuatan akal, bukan bergantung pada pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada dalam kepercayaan-kepercayaan mitologis masyarakatnya. Filsafat mereka bercorak sangat kosmosentris.

Coraknya secara lebih tepat disebut kosmosentrisme otonom. Kosmosentrisme karena berfilsafatnya berpusat pada persoalan alam semesta. Otonom karena dalam menjawab masalah-masalah tentang alam semesta para filosof menggunakan kekuatan pemahaman rasional dalam diri manusia, tidak mengambil pengetahuan yang sudah ada di luar pikiran manusia. Mereka berpikir independen dengan kekuatan akal manusia dalam memahami alam semesta.

sumber : http://stiebanten.blogspot.co.id/2011/10/sejarah-filsafat.html

Filsafat dalam Periode Klasik

Periode klasik dari sejarah filsafat biasanya banyak disebutkan dimulai dari filosof-filosof pra-Socrates, seperti Thales, Anaximenes, Anaximander, Parmenides, Heraclitus, Pythagoras, dan Democritos. Dari filosof-filosof pre-Socrates, kemudian diikuti filosof-filosof Yunani legendaris, seperti Socrates, Plato, Aristoteles. Setelah mereka, periode klasik sejarah filsafat diakhiri dengan serentetan filsafat mulai dari neoplaonisme, epicureanisme, skeptisisme, stoisisme, dan rumusan-rumusan paling awal dari pemikiran-pemikiran orang-orang Yahudi dan Kristen.

Oleh karena itu, sejarah filsafat periode klasik, yaitu pada jaman Yunani Kuno, sering dalam literatur-literatur filsafat dibagi menjadi dua peiode. Ada yang menyebut Periode Klasik I dan Periode Klasik II, ada yang menamai Periode Yunani Kuno dan Yunani Setelah Klasik, dan lain sebagainya. Tulisan ini lebih suka menggunakan Yunani Periode Sebelum Socrates, Yunani Periode Trio Filosof Legendaris, dan Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.

a. Yunani Periode Sebelum Socrates (600-400 SM)

Zaman Yunani sebelum Socrates (600-400 SM) merupakan masa pertumbuhan pemikiran filosofis yang membedakan diri dari kondisi pada saat itu yang didominasi pemikiran-pemikiran mitologis. Para filosof cenderung menawarkan pemikiran rasional yang penuh dengan argumen logis yang sebelumnya menganggap bahwa alam tercipta karena adanya dewa Apollo, atau dewa-dewa yang ada di planet lain.

Argumen yang ditawarkan para filosof masa ini cenderung menganggap alam ini berasal dari air demikian dikemukakan oleh Thales (625-545 BC). Bahkan Thales menambahkan bahwa air adalah segala sesuatu, sebab air dibutuhkan oleh semua yang ada. Air dapat diamati dalam bentuknya yang bermacam-macam. Air dapat berbentuk benda halus (uap), sebagai benda cair (air), sebagai benda keras (es). Air dapat diamati di mana-mana, di laut, di danau atau di tempat amndi bahkan di makanan sekalipun. Berbeda dengan Thales, Anaximandros (610-540 BC) mengatakan bahwa realitas terdasar bukanlah air melainkan to apeiron yaitu sesuatu yang tidak terbatas. Sebab air masih ada lawannya adalah api. Api tidak mungkin berasal dari air. Oleh sebab itu to apeiron pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak terbatas. Alam terjadi dari to aperion disebabkan oleh adanya penceraian (ekliresis) dari yang tidak terbatas (to apeiron), dilepas unsur-unsur yang berlawanan seperti panas dan dingin, kering dan basah dan sebagainya, selain itu juga ada hukum keseimbangan. Anaximenes (538-480 BC) berpendapat lain bahwa alam ini berasal hawa dan udara. Heraklitos (540-475 BC) mengatakan bahwa segala sesuatu menjadi, segala yang ada bergerak terus menerus, bergerak secara abadi artinya perubahan adalah pangkal dari yang ada. Lain halnya Parmindes (540-475 BC) yang bertolak belakang dari Heraklitos.

Filosof-filosof awal pada periode ini mengenalkan suatu cara baru dalam memahami dunia di sekitarnya. Cara baru mereka adalah berpikir memahami dunia atau alam semesta dengan cara yang non-mitologis. Mereka menggunakan daya nalar rasional untuk menjelaskan alam semesta. Mereka tidak memahami alam dari luar diri manusia, seperti hanya mengambil jawaban dari mitos-mitos yang sudah ada, melainkan dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni dengan menggunakan rasio atau akal manusia itu sendiri.

b. Yunani Periode Trio Filosof Legendaris

Periode ini adalah masa yang terbentang antara 500-300 SM di Yunani Kuno. Era ini merupakan pola pemikiran Yunani Klasik yang sangat menonjol dari segi analisis rasionalnya. Era ini bersinar dan berpengaruh luas ke seluruh dunia karena pemikiran tiga filosof Yunani yang legendaris, yaitu Socrates (470-400 SM), Plato (428-348 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).

Trio filosof besar diataslah yang banyak memberikan kontribusi besar terhadap dunia filsafat dan ilmu pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa puncak filsafat Yunani dicapai pada zaman ini. Banyak sekali temuan filosofis yang disumbangkan pada zaman ini antara lain Sokrates menyumbangkan tentang nilai kebaikan yang dicapai melalui pengetahuan tentang apa yang baik itu. Plato merupakan penggabung pemikiran Heraklitos dan Parminedes dan melahirkan tentang faham idealisme. Idealisme Plato menekankan tentang alam idea yang menjadi sumber dari yang tampak sebagai fenomena. Ia berkesimpulan sebenarnya realitas yang tampak itu secara empiris itu bukan merupakan realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya adalah apa yang ada dibalik realitas yang tampak. Plato meyakini bahwa dalam pikiran manusia terdapat ide-ide bawaan. Ide-ide ini akan terpanggil kembali ketika melihat hal-hal, benda-benda, atau realitas yang bisa dipersepsi. Pengetahuan tidak lebih dari proses rekoleksi ide-ide yang telah ada secara bawaan melalui pengamatan terhadap benda-benda atau kejadian-kejadian empiris.

Berbeda dengan Plato yang berbicara tentang sesuatu yang ada secara hakiki dalam ide, Aristoteles murid dari Plato berseberangan dengan pandangan gurunya. Dia cenderung mengabaikan ide sebagai sesuatu yang ada secara sejati, dan mengatakan bahwa benda-benda dan kejadian-kejadian ada dan terjadi secara empiris yang bisa dilpersepsi merupakan realitas-realitas yang ada secara nyata, bukan fatamorgana. Dari pemikirannya ini lahir paham realisme. Realisme merupakan paham filsafat yang mengakui bahwa yang ada secara empiris adalah ada meskipun ia tidak dipersepsi atau dipikirkan, sebagaimana nyatanya pemikiran yang menghasilkan gagasan atau ide.

Ketiga tokoh inilah sebagai cikal bakal pengembangan ilmu pengetahuan, karena merekalah yang memulai berpikir mikrokosmos yakni memasuki alam dan seisinya termasuk manusia. Aristoteles membagi filsafat menjadi empat : Logika, Filsafat Teoritik : metafisika, fisika dan matematika, Filsafat Praktik : politik, ekonomi dan etika, serta Filsafat Poetika yakni estetika . Inilah landasan ontologik ilmu pengetahuan dan sekaligus juga landasan epistimologik. Pandangan Aristoteles memetakan adanya konsep filsafat sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan.

c. Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.

Gagasan trio filosofis ini diteruskan oleh filosof-filosof berikutnya sebagai upaya meneruskan dan mengembangkan pemikiran mereka. Tercatat adanya Stoisisme berbicara tentang etika, juga Epikurisme tentang etika. Selanjutnya yang paling berpengaruh adalah Neo-Platonisme filosof dari Mesir yang bernama asli Plotenus (205-270 BC) yang merupakan pendukung Trio Filosof. Ia cenderung mengatakan bahwa seluruh kenyataan ini merupakan suatu proses emanisasi, yang berasal dari yang Esa. Yang Esa adalah sumber dari yang ada. Konsep ini banyak dikembangkan kedalam nilai-nilai dari doktrin agama. Sebab ada relevansinya dengan kaidah agama, untuk memperkuat doktrin agama digunakan argument akal seperti yang ada dalam pandangan Neo Platonisme. Jadi ilmu pengetahuan pada saat ini bukan hanya bergerak dari masalah makrokosmos ke mikroskosmos bahkan melampaui pada hal-hal yang berada pada masalah metafisik. Zaman ini berlangsung hingga awal abad pertama masehi.

sumber : http://stiebanten.blogspot.co.id/2011/10/sejarah-filsafat.html

FIlsafat dalam priode Pra-sejarah

Yang sampai pada kita tentang informasi historis mengenai filsafat dalam periode paling awal adalah dari tradisi Yunani Kuno, ketika Thales dan kawan-kawan mencoba menjawab misteri asal-usul alam semesta dengan cara-cara rasional yang kemudian tradisi berpikir ini oleh Pythagoras disebut ФіλοσοФіα atau Philosophia. Informasi ini sampai karena pikiran-pikiran mereka terekam dalam bentuk tulisan. Thales dan pemikir-pemikir semasanya waktu itu juga tidak pernah menyebut pemikirannya dengan filsafat, namun cara-cara berpikir mereka yang baru dalam mengerti dunia yang berbeda dengan cara-cara orang yang hanya mengerti dunia dengan mengikuti mitos-mitos yang ada ini oleh orang setelahnya dinamai aktivitas berpikir awal yang disebut filsafat.

Boleh jadi orang-orang yang berpikir seperti cara-cara berpikir Thales dan kawan-kawannya juga bisa ditemukan jauh sebelum Thales dan kawan-kawannya. Sayangnya, tidak ada jejak tertulis untuk mengenali tradisi berpikir orang-orang dulu jauh sebelum era Yunani Kuno yang pantas dipayungi dengan istilah filsafat. Untuk mengapresiasi mereka dalam periodisasi sejarah filsafat, mereka perlu diberi tempat masuk dalam periode sejarah filsafat pra-sejarah.

Persoalan Asal-Usul Filsafat

Asal-usul filsafat, dalam pengertian cara-cara baru berpikir yang diberi nama filsafat pertama kali dibuat dan menjadi tradisi besar dan berpengaruh, mulai dari peradaban Yunani Kuno. Asal-usul filsafat dalam pengertian ini biasanya lebih tepat asal-usul filsafat Barat, yang bermula dari Yunani Kuno sekitar Abad ke-7 dan ke-6 SM ketika Anaximandros, Anaximenes, Thales dan lain sebagainya disebut-sebut sebagai pemikir-pemikir generasi awal yang disebut secara embrional dipandang sebagai cikal-bakal filsafat berawal dan tumbuh hingga dewasa ini. Pythagoras disebut-sebut sebagai pemikir pertama yang menyebut model berpikir Thales dan kawan-kawannya itu dengan filsafat. Tetapi jika dari sudut pandang cara-cara yang dipakai Thales dan kawan-kawan, yaitu cara dari dalam diri manusia memahami realitas atau alam, yang dipandang secara awal-mula filsafat, sebenarnya cara-cara berpikir yang mirip dengan mereka sudah ada jauh sebelumnya, misalnya di India.

Pada tahun 1500 – 700 SM, di India, di tengah-tengah usaha memahami realitas atau alam ini secara mistis dan religius, menurut Velasques, ada cara-cara baru dalam memahami realitas atau alam seperti bisa ditemui dalam himne-himne dalam Veda-veda karya para penulis dan pemikir India yang umumnya tidak diketahui. Cara-cara memahami realitas atau alam adalah upaya mendeskripsikan asal-usul alam semesta dalam istilah-istilah mistis, namun dalam saat yang sama juga menggambarkan cara-cara yang nonmistis dan dekat dengan terma-terma filsofis sebagaimana kita kenal sekarang, misalnya, tentang eksplanasi Yang Satu yang dipahami yang bukan eksistensi ataupun noneksistensi, yang tidak di bumi dan tidak dilangit, pendeknya yang takterbedakan dan taktergambarkan. Mereka berfilsafat tentang hakikat realitas mutlak. Dalam Uphanishad, tulisan-tulisan yang kemudian ditambahkan dalam Veda, kita bisa menemukan upaya-upaya pertma para pemikir India memahami realitas mutlak dalam terma-terma filsofis.

Filsafat dalam pengertian hakikinya, tanpa harus bernama filsafat, yaitu sebagai upaya mengerti secara rasional tentang dunia luar dan dunia dalam manusia, barangkali tidak bisa hanya disebut bermula dari masyarakat India, Mesir, Yunani atau yang lainnya. Kata-kata yang bijak untuk mengatakan asal-usul filsafat yang sesungguhnya, tanpa terjebak pada istilah, adalah semenjak manusia itu ada. Sejak manusia ada, berfilsafat atau sebut saja berpikir mendalam dan mendasar mengenai realitas barangkali telah menjadi bagian dari hidup manusia itu, meski mungkin pengertian filsafatnya tidak sedalam yang bisa dimengerti orang di jaman sekarang. Tidak bijak kiranya mengatakan bahwa berfilsafat hanya mungkin dimengerti orang setelah sekian masa perjalanan umat manusia. Tidak bijak kalau kita bilang, orang-orang primitif tidak mungkin bisa berfilsafat, hanya orang setelah jaman filosof-filosof Yunani saja yang bisa berfilsafat. Berfilsafat adalah bagian cari cara hidup manusia dalam memecahkan masalah-masalah hidupnya, dan awal-mula filsafat, dalam makna hakikinya tanpa melihat namanya karena sebelum ada nama filsafat orang sudah berfilsafat, adalah pertama kali manusia ada.

sumber : http://stiebanten.blogspot.co.id/2011/10/sejarah-filsafat.html

Ruang lingkup filsafat

Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen‑komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Ontologi ilmu

meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai­mana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua­lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan ke­yakinan kita masing‑masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.

Epistemologi ilmu

meliputi sumber, sarana, dan tatacara mengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model‑model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, feno­menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagai­mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be­serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seped teori ko­herensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.

Akslologi ilmu

meliputi nilal‑nilal (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke­nyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasansimbolik atau pun fisik‑material. Lebih dari itu nilai‑nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.





Dalam perkembangannya Filsafat llmu juga mengarahkan pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampal pada dimensi ke­budayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau keman­faatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan

Manfaat Antropologi Agama

Antropologi agamasebagai ilmu pengetahuan yang khusus berdiri sendiri, yang tidak lagi berada dalam kandungan antropologi budaya, manfaatnya guna memecahkan berbagai masalah keagamaan yang timbul dikalangan masyarakat.dengan demikan antropologi agama tidak saja bermanfaat untuk kebutuhan teoritis, tetapi juga untuk kebutuhan praktis.

Sebagai ilmu tentang umat manusia, antropologi melalui pendekatan dan metode ilmiah berusaha menyusun sejumlah generalisasi yang bermakna tentang manusia dan perilakunya.Kedua bidang besar dari antropologi adalah antropologi fisik dan budaya.Antropologi fisik memusatkan perhatiannya pada manusia sebagai organisme biologis yang tekanannya pada upaya melacak evolusi perkembangan manusia dan mempelajari variasi-variasi biologis dalam species manusia.Sedangkan antropologi budaya berusaha mempelajari manusia berdasarkan kebudayaannya.Dimana kebudayaan dapat merupakan peraturan-peraturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

sumber : http://fauzaazima.blogspot.co.id/2016/05/antropologi-agama.html

Pendekatan Etnologis-Antropologis

Etnologi adalah ilmu yang mebahas tentang ” bangsa-bangsa”, dan Etnologi tersebut juga suatu istilah yang telah lama dipakai sejak masa terjadinya antropologis. Istilah etnologi tersebut mulai ditinggalkan di megara-negara, hanya di Amerika dan Inggris masih dipakai untuk menyebut suatu bagian dari antropologi yang khusunya mempelajari tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan sejarah perkembangan kebudayaan manusia.

Etnologi juga bagian ilmu antropologi tentang asas-asas manusia, mempelajari kebudayaan-kebudayaan dalam kehidupan masyarakat dari bangsa-bangsa tertentu yang tersebar di muka bumi pada masa sekarang.
Pendekatan etnologi adalah etnografi, lebih memusatkan perhatiannya pada kebudayaan zaman sekarang, telaahnya pun terpusat pada perilaku manusia sebagaimana yang dapat disaksikan langsung, dialami, serta disaksikan dengan pendukung kebudayaan.
Pendekatan antropologis merupakan suatu pendekatan yang menggunakan metode antropologi pada umumnya yang diantara cirinya bahwa objek adalah sekelompok manusia yang biasanya manusia sederhana dalam kebulatan kehidupannya.Artinya meliputi seluruh aspek kebudayaanya.Artinya mengkaji manuisa serta budayanya.agama merupakan salah satu aspek yang paling penting dari aspek-aspek budaya lainnya.
Obyek studi antropologi terhadap agama adalah model-model keagamaan atau bagian dari model-model keagamaan itu dari sekelompok manusia yang tertentu tempatnya. Model keagamaan itu misalnya, mite, upacara, totem, magis dan sebagainya.
Konsep antropologi tentang kebudayaan adalah segala topik yang jelas berbeda-beda akan dipersatukan oleh prinsip-prinsip metode antropologis. untuk mengetahui manusia secara keseluruhannya, salah satu prinsip metode antropologi adalah bahwa seluruh fenomena makhluk baik yang bersifat biologis, historis, linguistik, atau pun budaya itu harus dibawa ke dalam kaitannya antara yang satu dengan lainnya. menurut para antropolog cara ini disebut pendekatan holistik.
Para antropolog dalam hal kebudayaan bahwa mereka mengatakan kebudayaan mengandung dua pengertian.Dalam artian umum kebudayaan adalah keseluruhan sistem sosial yang diwarisi oleh manusia.Dalam artian sempit kebudayaan adalah tradisi kelompok manusia tertentu.Jadi konsep kebudayaan itu merupakan salah satu kunci yang paling penting dalam memahami tingkah laku manusia.
Dengan demikian tingkah laku manusia itu diperoleh dengan usaha dan dipelajari dulu.Tingkah itu tidak bersifat instingtif, tidak diwariskan melalui kelahiran.Tingkah laku manuisia merupakan hasil komunikasi dari satu generasi ke generasi lainnya.

Objek kajian antropologi agama

Objek yang dikaji oleh berbagai cabang dan ranting ilmu, dibedakan kepada dua ubjek yaitu objek material dan objek formal. Objek materi ialah apa yang dipelajari oleh suatu ilmu, ilmu sosial misalnya, mempelajari masyarakat. Sosiologi dan Antropologi sama-sama mempelajari masyarakat, tetapi sudut ditinjauan atau formalnya berbeda.Sosiologi, misalnya dari sudut struktur sosialnya.Sedangkan Antropologi dari sudut budaya mayarakat tersebut.Agama yang dipelajari Antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya.Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual, dan kepercayaan keapada yang sakral.

Setiap unsur budaya terdiri dari tiga hal:
a. Norma, nilai, keyakinan yang ada dalam pikiran, hati dan perasaan manusia pemilik kebudayaan tersebut.
b. Pola tingkah laku yang dapat diamati dalam kehidupan nyata.
c. Hasil material dari kreasi, pikiran dan perasaan manusia.
Harsojo Mengungkapkan bahwa kajian Antropologi terhadap agama dari dahulu sampai sekarang meliputi empat masalah pokok, yaitu:
a. Dasar-dasar fundamental dari agama dan tempatnya dalam kehidupan manuisa.
b. Bagaimana manusia yang hidup bermasyarakat memenuhi kebutuhan religius mereka.
c. Darimana asal-usul agama.
d. Bagaimana manifestasi perasaan dan kebutuhan religius agama.
Jadi ruang lingkup antropologi agama dengan permasalahan budaya antara lain:
Ø Sejauh mana dapat ditarik batas antara agama dan budaya, sehingga dapat diketahui atau disepakati mana hak Allah dan mana hak manusia.
Ø Bagaimana ajaran dan hasil pemikiran dan perilaku manusia yang menujukkan adanya perbedaan antara agama dan kepercayaan yang satu dan yang lain, yang merupakan objek kajian antropologi agama.

sumber : http://fauzaazima.blogspot.co.id/2016/05/antropologi-agama.html

Manfaat antropologi dalam pendidikan

Setiap manusia memiliki perbedaan, oleh karena itu seorang pendidik harus sedikit banyak memahami latar siswa yakni keluarga, budaya, lingkungan siswa. Oleh karena itu, antropologi dibutuhkan sebagai landasan dalam pendidikan. Antropologi dalam pendidikan memiliki beberapa manfaat diantaranya:

1. Dapat mengetahui polaperilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat secara Universal maupun pola perilaku manusia pada tiap-tiap masyarakat (suku bangsa).
2. Dapat mengetahui kedudukan serta peran yang harus kita lakukan sesuai dengan harapan warga masyarakat dari kedudukan yang kita sandang.
3. Dengan mempelajari antropologi akan memperluas wawasan kita terhadap tata pergaulan umat manusia diseluruh duniakhususnya Indonesia yang mempunyai kekhususan-kekhususan yang sesuai dengan karakteristik daerahnya sehingga menimbulkan toleransi yang tinggi.
4. Dapat mengetahui berbagai macam problema dalam masyarakat serta memiliki kepekaan terhadap kondisi-kondisi dalam masyarakat baik yang menyenangkan serta mampu mengambil inisiatif terhadap pemecahan permasalahan yang muncul dalam lingkungan masyarakatnya.

Sejarah Perkembangan Landasan Antropologi Dalam Pendidikan

Seperti halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Perkembangan ilmu antropologi menjadi empat fase sebagai berikut :

Fase Pertama ( sebelum 1800 )
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.

Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

Fase Kedua ( tahun 1800 )
Pertengahan abad 19, integrasi muncul. Bahan-bahan Etnografi disusun menjadi sebuah karangan-karangan. Penyusunan bahan Etnografi tersebut bardasarkan cara berfikir evolusi masyarakat, yaitu perkembangan masyarakat dan kenudayaan sangatlah lambat. Di mulai dari tingkat terrendah melalui beberapa proses, yang akhirnya sampai di tingkat tertinggi. Masyarakat yang masih ada di tingkat rendah dari kebudayaan manusia zaman dahulu, mereka adalah salah satu contoh masyarakat primitive. Dan contoh untuk masyarakat yang ada di tingkat tinggi adalah bangsa Eropa sendiri.

Sekitar tahun 1860 muncul karangan yang mengklasifikasikan aneka kebudayaan di dunia ke dalam tingkat evolusi tertentu. Maka muncullah ilmu antropologi.

Dengan meneliti bangsa-bangsa di luar Eropa, dapat menambah pengetahuan tentang sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Antropologi merupakan ilmu yang tidak mempunyai tujuan secara langsung bersifat praktis dan hanya dilakukan di kalangan sarjana universitas.

Tujuan antropologi pada fase kedua ini adalah akademis, yaitu mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Fase Ketiga ( awal abad ke 20 )
Dalam fase ketiga ini, ilmu antropologi menjadi ilmu yang praktis, yang bertujuan mampalajari masyarakat fan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks. Berikut panjalasannya :

Awal abad 20, negara-negara penjajah di Eropa berhasil memantapkan kekuasaannya di daerah-daerah jajahannya di luar Eropa. Dalam hak ini, ilmu antropologi sangat penting karena menyangkut juga tentang pentingnya dalam mempelajari kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa, yang masih mempunyai masyarakat yang belum kompleks. Ilmu antropologi nerkembang di negara-negara pemjajah, terutama Inggris. Bahkan berkembang juga di negara Amerika Serikat, yang bukan merupakan negara kolonial.
Fase Keempat
Ilma Antropologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, diantaranya pengetahuan yang jauh lebih teliti fan metode-metode ilmiahnya yang semakin tajam. Perkembangan ini menyebabkan :
Timtbulnya anitipati kolonialisme setelah perang dunia 2
Sekitar tahun 1930 bangsa primitive mulai hilang dan benar-benar hilang setelah Perang Dunia 2.

Lapangan penelitian ilmu Antropologi berhasil berkembang dengan tujuan dan pokok yang baru, dengan berlandaskan bahan etnologi dan metode ilmiah yang lalu. Pokok tujuan yang baru itu ditinjau dan diteliti di dalam suatu simposium oleh 60 tokoh ahli antropologi dari negara-negara di Amerika dan Eropa pada tahun 1951 . penekitian tifak hanya tertuju pada penduduk pedesaan di luar Eripa, tetapi juga suku bangsa pedesaan di Eropa, seperti bangsa Irlandis, Flam, dan Soami. Ilmu Antropologi ada 2 tujuan, yaitu :
Tujuan akademis yaitu pengertian manusia beserta bentuk fisik, masyarakat dan kebudayaannya.
Tujuan praktis yaitu mempelajari manusia dalam berbagai masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa tersebut.

sumber : https://bahrurrosyididuraisy.wordpress.com/research/antropologi-pendidikan/

Pengertian Landasan Antropologi

Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ”antrophos” berarti manusia, dan “logos” berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbanding atau perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan dan manjadi kontroversi sehingga metode antropologi sekarang sering kali dilakukan pada pemusatan penelitian pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama.

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase.

Antropologi secara garis besar dipecah menjadi 2 bagian yaitu antropologi fisik/biologi dan antropologi budaya. Tetapi dalam pecahan antropologi budaya, terpecah – pecah lagi menjadi banyak sehingga menjadi spesialisasi – spesialisasi, termasuk antropologi pendidikan. Seperti halnya kajian antropologi pada umumnya antropologi pendidikan berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya dalam rangka memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia khususnya dalam dunia pendidikan.

Hidup ibarat filsafat (filsafat hidup)

Filosofi hidup hampir berkaitan dengan prinsip hidup. Semua
orang yang masih eksis mempunyai pegangan hidup, tujuan hidup,
prinsip hidup maupun filosofi hidup. Tentunya hal ini cukup berbeda
di antara satu dengan lainnya dalam menyikapinya. Karena, setiap
orang itu tidak sama, setiap orang itu unik, setiap orang merupakan
mahluk individualisme yang membedakan satu dengan lainnya.

Ada yang mempunyai tujuan hidup yang begitu kuat, namun
prinsip hidupnya lemah, atau sebaliknya ada orang yang mempunyai
tujuan hidup yang lemah, namun memiliki prinsip hidup yang kuat. Ini
tidaklah menjadi suatu permasalahan, yang penting seberapa baiknya
seseorang menyambung hidupnya dengan berbagai persoalan dunia yang
ada, atau dengan kata laiinya bagaimana kondisi psikologis/jiwa
seseorang dalam menjalani hidupnya.

Prinsip hidup masih jauh kaitannya dengan psikologi, namun
psikologi mau tau mau berhubungan langsung dengan prinsip hidup.
Karena, dengan menijau prinsip hidup seseorang dapat diketahui
kondisi jiwa seseorang. Prinsip hidup dan filosofi hidup sangat luas
cakupannya, tidak hanya ditinjau dari segi psikologi, tapi seluruh
cabang ilmu pengetahuan yang ada. Prinsip hidup seseorang dapat
diambil dari perspektif psikologi, agama, seni, literatural,
metafisika, filsafat dsb.

Bagi sebagian orang, filosofi hidup dapat dijadikan sebagai
panutan hidup, agar seseorang dapat hidup dengan baik dan benar.
Adapula sebagaian orang yang tidak menghiraukan apa itu tujuan hidup
dan filosofi hidup, ia hanya hidup mengikuti arus yang mengalir dan
sebagian orang lagi, terlalu kuat memegang tujuan hidup dan filosofi
hidupnya sehingga membuat ia menjadi keras dan keras, Jadi,
kesimpulannya ada 3 sifat manusia yang bisa ditinjau dari filosofi
hidupnya, yaitu orang yang lemah, orang yang netral dan orang yang
keras.

Orang yang lemah adalah orang yang tidak mempunyai tujuan hidup atau
prinsip hidup. Ia tidak tahu untuk apa ia hidup, ia tidak berusaha
mengetahui kebenaran di balik fenomena alam ini, sehingga terkadang
baik dan buruk dapat dijalaninya. Orang yang netral adalah orang
yang mempunyai tujuan dan prinsip hidup, tetapi tidak mengukuhinya
dengan terlalu kuat. Ia berusaha mencari kebenaran hidup dan hidup
dalam kebijakan dan kebenaran, ia bebas dan netral, tidak kurang dan
tidak melampaui, ia berada di tengah-tengah. Orang yang kuat adalah
orang yang memegang kuat tujuan dan prinsip hidupnya. Sehingga ia
mampu melakukan apa saja demi tercapai tujuannya. Ia terikat oleh
filosofinya, ia kuat dan kaku berada di atas pandangannya, ia merasa
lebih unggul dari orang lain dan melebihi semua orang.
Jika ditinjau dari sisi psikologi. Orang-orang yang di atas juga
dapat dikategorikan, seperti orang yang mempunyai jiwa yang lemah,
jiwa yang sedang dan jiwa yang kuat. Namun, untuk yang berjiwa
sehat, seseorang tidak hanya dilihat dari jiwa lemah, sedang ataupun
kuatnya. Penerapan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari
itulah yang penting.

Pada dasarnya, tujuan dan prinsip hidup seseorang itu baik dan
bersih. Pada saat seseorang dalam keadaan tenang, ia membuat
berbagai tujuan dan prinsip dalam hidupnya, namun ketika diterapkan
timbul beberapa hambatan dari luar dirinya atau adanya pengaruh dari
lingkungan eksternalnya. Salah satu pengaruh terbesar dari luar
dirinya adalah panca indera. Panca indera yang tidak terjaga dengan
baik akan membuat seseorang terpeleset dari tujuan dan prinsip
hidupnya. Telinga bisa mendengar, mata bisa melihat, mulut bisa
berbicara. Semua itu harus dikendalikan dengan baik.
Sebagai contoh konkret, saya mempunyai tujuan hidup menjadi
seseorang yang berguna untuk menolong semua mahluk hidup sampai ajal
menemui dan filosofi hidupnya adalah bila ada orang baik kepada
saya, maka saya akan baik kepadanya, dan bila ada orang jahat kepada
saya, maka saya akan baik juga kepadanya. Dari filosofi hidup ini,
jika dilihat dari sisi psikologinya, orang tersebut mempunyai jiwa
yang sehat, tidak mendendam dan bahagia menerima hidup. Namun, itu
hanyalah sebuah filosofi hidup, yang terpenting adalah bagaimana ia
menerapkan dalam perilakunya, apakah bisa sesempurna dengan filosofi
hidupnya atau hanya sekedar membuat filosofi hidup tetapi tidak
dijalankannya ataupun ia membuat suatu filosofi hidup, namun ia
susah menjalannya karena tidak bisa menahan godaan atau hambatan
dari luar dirinya.

Sebuah filosofi hidup bisa didapatkan dari seorang pemikir-pemikir
jenius yang bijaksana, bebas dan terpelajar. Biasanya orang tersebut
dianggap sebagai seorang filsuf, pelopor kebijakan. Masing-masing
negara memiliki tokoh filosofinya. Orang pertama yang memperkenalkan
filsafat hidup ke dalam ilmu pengetahuan adalah orang Yunani yang
kebetulan pada saat itu negaranya merupakan negara yang bebas dalam
berkarya. Terbukti begitu banyak para filsuf terkenal kebanyakan
dari bangsa Yunani, seperti Aristoteles, Plato dan Socrates.
Socrateslah yang paling banyak memberi pengaruh kepada dunia ilmu
pengetahuan, maka dia disebut Bapak Filsafat. Sedangkan, dari ilmu
psikologi, Bapak Sigmud Frued disebut-sebut sebagai Bapak Psikologi
yang paling banyak memberikan sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan.
Kedua tokoh dunia ini sama-sama memiliki pemikiran yang luar biasa
untuk menciptakan pengetahuan-pengetahuan mengenai asal usul dari
segala sesuatu, meskipun cakupannya berbeda, namun, psikologi dan
filsafat tidak bisa dipisahkan dan sebaliknya. Banyak tokoh
psikologi yang semula mempelajari filsafat kemudian melanjutkan
pengetahuannya ke bidang psikologi.
Beberapa kata kutipan yang diambil da
ri kedua tokoh ini, yakni :

” Makanan enak, baju indah, dan segala kemewahan, itulah yang kau
sebut kebahagiaan, namun aku percaya bahwa suatu keadaan di mana
orang tidak mengharapkan apa pun adalah kebahagiaan yang tertinggi
(Socrates)”.
Dan,

” Mereka yang percaya, tidak berpikir. Mereka yang berfikir, tidak
percaya (Sigmud Frued)”.

Disini dapat dilihat, bahwa terjadi suatu studi banding antara kedua
ilmu tersebut, Masing-masing membicarakan asal asul segala sesuatu
menurut perspektif ilmunya. Namun, dari kedua ilmu tersebut
mempunyai suatu kesamaan, bahkan banyak kesamaan yang membahas
mengenai asal mulanya sesuatu yang pasti ada hubungannya dengan
manusia dan alam sekitarnya.

Seorang Socrates membicarakan kebahagiaan dan seorang Sigmund Frued
membicarakan pikiran, tentunya kedua hal ini mempunyai kaitan yang
cukup besar. Filosofi hidup yang diberikan oleh Socrates mengenai
kebahagiaan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan Ilmu
psikologi yang diberikan oleh Sigmund Frued mengenai pikiran (alam
sadar atau alam bawah sadar) dapat dijadikan landasan seseorang
untuk mencapai kebahagiaan.

Oleh sebab itu, seseorang yang mempelajari psikologi maupun
tidak, harus memiliki satu tujuan hidup atau filosofi hidup agar
bisa berkembang, dan seseorang yang mempelajari filsafat maupun
tidak, harus memperhatikan apakah dan bagaimanakah agar filosofinya
dapat diterapkan dengan baik dan benar sehingga mempunyai
psikologis/jiwa yang sehat untuk maju dan berhasil.

“Jika seseorang tahu kebenaran yang mendasar tentang segala sesuatu,
maka itulah inti pengetahuan’.

Manfaat filsafat sosial

S. Takdir Alisyahbana menulis dalam bukunya: filsafat itu dapat memberikan ketenangan pikiran dan kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut. Dalam tujuannya yang tunggal (yaitu kebenaran) itulah letaknya kebesaran, kemuliaan, malahan kebangsawanan filsafat di antara kerja manusia yang lain. Kebenaran dalam arti yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya baginya, itulah tujuan yang tertinggi dan satu-satunya.

Bagi manusia, berfilsafat itu bererti mengatur hidupnya seinsaf-insafnya, senetral-netralnya dengan perasaan tanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap dasar hidup yang sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam, atau pun kebenaran. Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy, menyebutkan: Tugas filsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju.

Melihat fenomena masyarakat yang begitu banyak terjadi problema sosial, seperti kesenjangan kelas sosial antara Si kaya dan Si Miskin, penguasaan kekuasaan alam, bahkan sampai pada problema yang paling sensitive yakni masalah ketersinggungan kemanusiaan dan kemasyrakatan. Disinilah peran dan manfaat Filsafat sosial yang sesungguhnya yakni memelihara dan menjaga nilai kenyataan sosial yakni aspek teknis dan aspek kemanusiaan.

Hubungan Filsafat sosial dan sosiologi

Sosiologi yang pernah diperlakukan sebagai filsafat sosial, atau filsafat sejarah, muncul sebagai ilmu sosial yang mandiri pada abad ke-19. Auguste Comte, seorang Prancis, secara tradisional dianggap sebagai bapak sosiologi. Comte terakreditasi dengan coining dari sosiologi istilah (tahun 1839). "Sosiologi" terdiri dari dua kata: socius, yang berarti pendamping atau asosiasi, dan logo, yang berarti ilmu atau belajar. Makna etimologis dari "sosiologi" demikian ilmu masyarakat. John Stuart Mill, seorang pemikir sosial dan filsuf abad ke-19, mengusulkan etologi kata untuk ini ilmu baru. Herbert Spencer mengembangkan studi sistematis tentang masyarakat dan mengadopsi kata "sosiologi" dalam karyanya. Dengan kontribusi dari Spencer dan lain-lain itu (sosiologi) menjadi nama permanen dari ilmu baru.

* Sosiologi

Sosiologi memaknai metode observasi dan berusaha menerangkan sebab-musabab suatu gejala sosial yang konkrit dari keadaannya yang lebih luas. Maka sosiologi tetap berada di bidang kejadian yang dapat diobservasi.

ü Fase pertama dapat dikatakan metode Histori. Dalam fase ini, dibahas suatu gejala sosial tersendiri bersama dengan elemen-elemen yang dapat diobservasi. Dalam artian memahami peristiwa masa silam kemudian menuntaskannya menjadi prinsip-prinsip yang bersifat umum.

ü Fase kedua berupa pengukuran kejadian-kejadian yang akan dibahas. Inilah tugas metode statistic itu sendiri.

ü Fase ketiga atau bisa disebut dengan Metode Komparatif yakni metode perbandingan.

ü Fase keempat berupa penafsiran suatu hipotesis.

ü Fase kelima dapat dikatakan metode Case-Study yang didalamnya mempelajari gejala yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat berupa pembuktian kebenaran hipotesa itu sendiri.

* Filsafat Sosial

Filsafat sosial menempuh kebalikan jalan observasi sosiologi. Sosiologi bermaksud untuk mencapai pengetahuan yang selalu bertambah eksak tentang data positif. Filsafat sosial itu adalah data ontology dari segala sesuatu yang bersifat sosial, artinya inti sari dari hidup sosial itu dikembalikan ke pokok ada manusia. Yang tercetus dalam setiap dan segala data sosial yang konkrit, misalnya hubungan pokok perorangan dengan hidup bersama. Dalam hal ini, aliran-aliran filsafat bersimpangan. Pandangan-pandangan mengenai kepentingan umum, mengenai bentuk pemerintahan, dasar hukum dan keadilan, bergantung pada tanggapan terhadap hubungan perorangan dengan kehidupan bersama. Pandangan penting juga artinya untuk penentuan norma-norma untuk mengatur segala konkrit hubungan antar manusia.

Untuk mendapat pengeathuan normative tentang pengaturan tata tertib sosial, filsafat sosial melalui 2 fase :

ü Fase pertama dibahas hubungan perorangan dalam kehidupan bersama.

ü Fase kedua mengenai normative yang konkrit untuk tindakan sosial.

Jadi, tergambar jelas perbedaan antara Filsafat sosial dan Sosiologi. Walaupun pada dasarnya objek materiil dari objek penelitian kedua bidang ini sama, yakni Pengalaman sosial.

Bahan filsafat sosial

Ada dua bahan filsafat sosial yaitu , bahan materiil dan bahan formiil. berikut penjelasannya :

Bahan materiil filsafat sosial adalah sesuatu yang dapat menyelediki berbagai bidang dalam masyarakat, maka kita dihadapkan pada kenyataan bahwa manusia hidup bersama dengan sesama manusia, bahwa mereka bersama menimbulkan keadaan keadaan hidup materiil dan rohaniah yang sebaliknya memberikan pengaruh pada mereka. Hal ini dapat disaksikan secara lahiriah maupun batiniah. Lahiriah dapat berbentuk, pergaulan diantara mereka, saling bercakap-cakap, dsb. Batiniah dapat diaplikasikan melalui segala norma-norma yang tidak tampak.

Bahan formil filsafat sosial, saling kaitan dengan bahan materiil filsafat sosial namun bahan formil filsafat sosial ini dapat ditinjau dari sisi Relasi Perseorangan dan Relasi sosialnya. Relasi perseorangan itu sendiri berlangsung dari subjek ke subjek. Motif atau dasar relasi ini adalah dasar kebajikan dan kehormatan orang lain. Contoh relasi ini seperti rasa simpati, cinta kasih antar manusia, juga terima kasih dan rasa hormat. Sedangkan relasi sosial adalah relasi yang mempersatukan sejumlah orang karena adanya suatu objek Nampak yang menengahinya. Objek inilah yang membentuk relasi sosial, mungkin materiil dan mungkin idial. Oleh karena itu, terkadang sulit membedakan antara relasi perseorangan dan relasi sosial sebab keduanya saling memengaruhi, relasi sosial termasuk dalam relasi perseorangan begitu pun sebaliknya.

Ruang lingkup filsafat sosial

Adapun ruang lingkup dalam filsafat social adalah sebagai berikut:

· Mempertanyakan dan membicarakan persoalan dalam masyarakat (society) dalam individualisme.

· Persoalan individual dalam hubungannya dengan Negara

· Persoalan yang menyangkut hak-hak asasi dan otonomi

· Persoalan keadilan social (justice) dan social cooperation

· Persoalan keadilan (justice) dan kebebasan (freedom)

· Persoalan antara moral dan hukum

· Persoalan masalah moral dan kebabasan (morality and freedom)

· Persoalan masalah ilmu-ilmu sosial.

Pengertian filsafat sosial

Filsafat sosial merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari persoalan sosial kemasyarakatan secara kritis, radikal dan komprehensif. Sejak kelahirannya filsafat sosial telah mendekonstruksi pemahaman masyarakat bahwa tidak selamanya apa yang ada dikolong langit telah langsung diatur oleh kekuasaan Tuhan untuk selama-lamanya.

Filsafat Sosial dewasa ini sangat dirasakan kepentingannya. Hal ini didasarkan pada perubahan dan kemajuan yang bersama-sama dialami oleh umat manusia banyak sekali berbagai persoalan yang dimintai perhatian, khususnya yang menyangkut kehidupan sosial manusia.





Dalam bukunya, Suryo Ediyono menjelaskan bahwa Filsafat sosial adalah filsafat yang mempertanyakan persoalan kemasyarakatan (society), pemerintahan (government) dan Negara (state).

Pendapat pakar tentang filsafat ilmu

Pengertian Filsafat Ilmu dalam arti luas, yaitu mencakup permasalahan yang menyangkut berbagai hubungan ke luar dari kegiatan ilmiah seperti implikasi ontologik-metafisik dan citra dunia yang bersifat ilmiah, tata susila yang menjadi patokan dalam penyelenggaraan ilmu dan konsekuensi pragmatik-etik penyelenggara ilmu.

Dalam arti sempit, Pengertian Filsafat Ilmu yaitu menampung permasalahan yang bersangkutan dengan hubungan ke dalam yang terdapat di dalam ilmu, yaitu yang menyangkut sifat dari pengetahuan ilmiah dan cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah.

Untuk mendapatkan gambaran singkat mengenai Pengertian Filsafat Ilmu dapatlah kiranya dirangkum tiga medan telaah yang tercakup di dalam filsafat ilmu yaitu sebagai berikut :


Pengertian Filsafat Ilmu adalah suatu telaah kritis terhadap metode yag digunakan oleh ilmu tertentu, terhadap lambang-lambang yang dipakai dan terhadap struktur penalaran tentang sistem lambang yang digunakan. Telaah kritis ini kemudian dapat diarahkan untuk mengkaji ilmu empiris dan ilmu rasional, juga antropologi, geologi dan sebagainya. Dalam hubungan ini yang terutama sekali ditelaah yaitu ihwal penalaran dan teorinya.

Pengertian Filsafat Ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan mengenai dasar-dasar konsep, sangka wacana dan postulat tentang ilmu serta upaya untuk membuka tabir dasar-dasar keempirisan, kepragmatisan dan kerasionalan. Aspek filsafat ini erat hubungannya dengan hal ihwal yang logis dan epistemologis. Jadi, peran filsafat ilmu disini berganda. Pada sisi pertama, filsafat ilmu mencakup analisis kritis terhadap anggapan dasar, seperti kualitas, kuantitas, ruang, waktu dan hukum. Pada sisi yang lain filsafat ilmu mencakup studi mengenai keyakinan tertentu, seperti keyakinan mengenai dunia ‘sana’, keyakinan mengenai keserupaan di dalam alam semesta dan keyakinan mengenai kenalaran proses alami.

Pengertian filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas beberapa studi yang beraneka macam yang ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu tertentu. Tempat kedudukan filsafat di dalam lingkungan filsafat sebagai keseluruhan.

Adapun dalam Filsafat Ilmu Khusus membicarakan kategori serta metode yang digunakan dalam ilmu tertentu atau dalam kelompok ilmu tertentu seperti kelompok ilmu alam, ilmu masyarakat, ilmu teknik dan sebagainya. Demikianlah pembahasan mengenai Pengertian Filsafat Ilmu Menurut Para Pakar, Semoga Tulisan saya mengenai filsafat ilmu menurut para pakar dapat bermanfaat.

Sumber : 
Buku Yang digunakan dalam Penulisan Pengertian Filsafat Ilmu :
– Surajiyo, 2005. ILMU FILSAFAT Suatu Pengantar. Penerbit PT Bumi Aksara: Jakarta.

Aliran absolutis progresif

Meskipun berbagai macam absolutisme telah dikelompokan dan menjadi objek kritik, ada bentuk-bentuk absolutisme yang berbeda dalam matematika. Menyamakannya dengan filsafat sains, Confrey (1981) memisahkan absolute formal dengan absolute progresif dalam filsafat matematika.

Absolutis progresif yang lebih memandang (dari sudut pandang aliran absolutis) matematika sebagai akibat dari upaya manusia untuk mencari kebenaran daripada hasilnya. Filsafat absolut progresif:

1. Menerima penciptaan dan perubahan teori-teori aksiomatis (yang kebenarannya hampir dianggap mutlak).
2. Mengakui bahwa keberadaan matematika formal karena intuisi matematika diperlukan sebagai dasar dari penciptaan teori.
3. Mengakui aktifitas manusia dan akibatnya dalam penciptaan pengetahuan dan teori-teori baru.

Intusionisme (dan konstruktifisme, lebih umumnya) sesuai dengan deskripsi ini. Karena intusionisme adalah pondasionis dan absolutis yang berusaha mencari pondasi (dasar) yang kuat untuk pengetahuan matematika melalui pembuktian-pembuktian intusionistik dan “urintuition” (Kalmar, 1967).

Intusionisme dan filsafat absolutis progresif secara umum memenuhi kriteria dibandingkan dengan filsafat absolut formal, meskipun secara keseluruhan tetap memberikan penentangan karena aliran ini memberikan ruang, meskipun terbatas, untuk para ahli matematika yang beraktivitas (Kriteria 4). Mereka memandang elemen manusia, meskipun dalam bentuknya yang unik, memiliki tempat dalam matematika informal. Harus diakui bahwa aliran ini memenuhi sebagian kriteria.

Absolutis progresif lebih memandang dari sudut padang aliran absolutis matematika sebagai akibat dari upaya manusia untuk mencari kebenaran daripada hasilnya. Filsafat absolut progresif:

4. Menerima penciptaan dan perubahan teori-teori aksiomatis yang kebenarannya hampir dianggap mutlak.
5. Mengakui bahwa keberadaan matematika formal karena adanya intuisi matematika yang diperlukan sebagai dasar dari penciptaan teori.
6. Mengakui aktifitas manusia dan akibatnya dalam penciptaan pengetahuan dan teori-teori baru.

Intusionisme adalah pondasionis dan absolutis yang berusaha mencari pondasi dasar yang kuat untuk pengetahuan matematika melalui pembuktian-pembuktian intusionistik dan “urintuition” (Kalmar, 1967). Intusionisme dan filsafat absolutis progresif secara umum lebih memenuhi kriteria dibandingkan dengan filsafat absolut formal, meskipun secara keseluruhan tetap memberikan penentangan karena aliran ini memberikan ruang yang terbatas untuk para ahli matematika beraktivitas (Kriteria 4). Mereka memandang elemen manusia, meskipun bentuknya unik, namun memiliki tempat dalam matematika informal. Harus diakui bahwa aliran ini memenuhi sebagian kriteria.

sumber : translate philosopy of mathematic education

Dimensi evaluasi kurikulum

Kurikulum memiliki dimensi yang luas karena mencakup banyak hal.Aspek-aspek kegiatan kurikulum dimulai dari perencanaan, pengembangan komponen, implementasi serta hasil belajar dianggap sebagai ruang lingkup kajian evaluasi kurikulum. Dengan demikian, evaluasi kurikulum mencakup semua aspek tersebut, artinya bahwa evaluasi kurikulum merupakan suatu proses evaluasi terhadap kurikulum secara keseuruhan baik yang bersifat makro atau ruang lingkup yang luas (ideal curriculum) maupun lingkup mikro (actual curricuum) dalam bentuk pembelajaran.

Dimensi evaluasi kurikulum mencakup dimensi program (tujuan, isi kurikulum dan pedoman kurikulum) dan dimensi pelaksanaan (input, proses, output dan dampak).

1. Dimensi Program

a Tujuan (institusional, kurikuler, instruksional) yang terdiri dari : Lingkup abilitas/kompetensi, kedalaman/keluasan tujuan, kesinambungan antar tujuan, relevansi antar tujuan, rumusan kalimat.

b Isi Kurikulum (Struktur, Komposisi, Jumlah mata pelajaran, alokasi waktu) yang terdiri dari : Kesesuaian dengan tujuan, scope dan sequence, sifat isi, esensi, kesinambungan, organisasi, keseimbangan, dan kegunaan.

c Pedoman Pelaksanaan yang terdiri dari : Proses belajar-mengajar, sistem penilaian, administrasi dan supervisi, dan sumber belajar.

2. Dimensi Pelaksanaan

a. Komponen Masukan

Masukan mentah (input peserta didik)

1) Komponen- komponen yang ada didalam masukan mentah ini yaitu : Jumlah peserta didik, minat dan motivasi, kecakapan sebelumnya, dan bakat/potensi.

2) Masukan Alat yang terdiri dari : Bahan pelajaran/pelatihan, alat-alat pembelajaran, media dan sumber belajar, pengajar/pelatih (jumlah dankualitasnya), Sistem administrasi, dan prasarana pendidikan.

3) Masukan Lingkungan yang terdiri dari : lingkungan social, lingkungan budaya, lingkungan geografis, dan lingkungan religius.

b. Komponen Proses

Interaksi unsur-unsur masukan untuk mencapai tujuan :

Peserta – Peserta

Peserta – Pengajar/pelatih

Peserta – Lingkungan

Pengajar – Pengajar

c. Komponen Keluaran

Komponen keluaran ini nantinya akan menghasilkan suatu perubahan tingkah laku (kompetensi) setelah mengalami proses : pengetahuan, sikap/nilai, dan keterampilan.

d. Komponen Dampak

Dampak yang akan dirasakan oleh peserta didik di masyarakat /tempat kerja yaitu:
Kemandirian, kemampuan intelektual, kemampuan social,moral, etos kerja, dsb.

sumber : makalah kelompok evaluasi kurikulum

Hakikat evaluasi kurikulum

Evaluasi pada dasarnya adalah proses penentuan nilai sesuatu berdasarkan kriteria tertentu. Dalam proses evaluasi terdapat beberapa komponen, yaitu mengumpulkan data/informasi yang diperlukan sebagai dasar dalam menentukan nilai sesuatu yang menjadi obyek evaluasi. Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan dalam kurikulum. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan modal pengembangan kurikulum yang digunakan. Hasil evaluasi kurikulum juga dapat dipakai oleh guru, kepala sekolah maupun para pelaksana pendidikan lainnya untuk mengetahui perkembangan siswa, memilih bahan pelajaran, memilih metode serta cara penilaian pendidikan.

Evaluasi kurikulum sulit dirumuskan secara tegas, sebab evaluasi kurikulum selalu berkenaan dengan fenomena-fenomena yang terus berubah, selain itu obyek evaluasi kurikulum juga berubah-ubah sesuai dengan konsep kurikulum yang diterapkan serta evaluasi kurikulum itu dilakukan oleh seseorang yang sifatnya juga berubah.

Menurut Stufflebeam, ada tiga hal penting yang tercakup dalam proses evaluasi, (a) menetapkan suatu nilai, (b) adanya suatu kriteria, (c) adanya deskripsi program sebagai obyek penilaian. Komponen lain yang dapat menunjang keberhasilan evaluasi kurikulum yaitu pertimbangan. Pertimbangan merupakan hasil yang sangat penting dalam proses evaluasi. Pertimbangan tersebut diharapkan tepat jika informasi yang diperoleh juga tepat. Oleh karena itu, pengumpulan informasi harus didasarkan pada rencana pertimbangan yang telah ditetapkan, pertimbangan yang diambil tidak harus menuntut adanya pengambilan tindakan. Sebagai contoh, seorang kepala sekolah mempertimbangkan bahwa suatu kurikulum yang baru akan lebih efektif. Sedang komponen yang terakhir yaitu pembuatan keputusan. Komponen ini merupakan tujuan akhir dari evaluasi kurikulum. Dalam pembuatan keputusan harus dipikirkan dengan matang karena dalam keputusan tersebut yang akan membawa ke arah yang positif / negatif.

“Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan”


sumber : makalah kelompok evaluasi kurikulum (kurpem)

Kejadian dan asal-usul manusia pertama sampai ketiga


Al-Quran menjelaskan beberapa tahapan dalam proses kejadian dan asal-usul manusia secara rinci. Ketiga tahapan tersebut antara lain kejadian dan asal usul manusia pertama, kedua, dan ketiga. Berikut ini penjelasan dari masing-masing tahapan tersebut.

1. Kejadian dan Asal-usul Manusia Pertama
Kejadian dan asal-usul manusia pertama yang berarti pula proses penciptaan Adam diawali oleh pembentukan fisik dengan membuatnya langsung dari tanah yang kering yang kemudian ditupkan ruh ke dalamnya sehingga ia hidup. Keterangan tersebut sesuai dengan hadis riwayat Tirmidzi, dimana Nabi SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam as dari segenggam tanah yang diambil dari seluruh bagian bumi, maka anak cucu Adampun seperti itu, sebagian ada yang baik dan buruk, ada yang mudah (lembut) dan kasar dan sebagainya.”

2. Kejadian dan Asal-usul Manusia Kedua
Alloh menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan. Begitupun dengan manusia, Adam yang diciptakan hendak dipasangkan oleh Alloh dengan lawan jenisnya yang diciptakan dari tulang rusuk Adam, yaitu Siti Hawa. Keterangan tersebut sesuai dengan firman Alloh QS. An-Nisa, ayat 1 berikut:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
3. Kejadian dan Asal-usul Manusia Ketiga
Kejadian dan asal usul manusia ketiga terkait dengan proses kejadian seluruh umat keturunan Nabi Adam dan Siti Hawa (Kecuali Isa, AS.) proses kejadian manusia yang disebutkan dalam Al-Qur,an ternyata setelah dewasa ini dapat dipertanggung jawabkan secara medis. Dalam Al-Qur’an, asal-usul manusia secara biologi dijelaskan dalam Surat Al-Mu’minuun : 12-14 berikut ini:

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah , Pencipta Yang Paling Baik." (QS. Al Mu’minuun : 12-14).
sumber : http://kisahasalusul.blogspot.com/2014/07/asal-usul-manusia-menurut-agama-islam.html


Kamis, 22 Desember 2016

Prinsip-prinsip demokrasi

Menurut winarno (politik demokrasi) antara lain :
1. Pembagian kekuasaan
2. Pemerintahan konstitusional
3. Pemerintahan berdasarkan hukum
4. Pemerintahan mayoritas
5. Pemerintahan dengan diskusi
6. Pemilu yang bebas
7. Parpol lebih dari satu dan mampu melaksanakan fungsinya
8. Manajemen yang terbuka
9. Pers yang bebas
10. Perlindungan HAM
11. Peradilan yang bebas dan tidak memihak
12. UUD yang demokratis

Nilai-nilai demokrasi menurut Cipto Tanireja, dkk :
a. Kebebasan menyatakan pendapat
b. Kebebasan berkelompok
c. Kebebasan berpartisipasi
d. Kebebasan antarwarga
e. Rasa percaya
f. kerjasama

sumber : makalah demokrasi