Sabtu, 31 Desember 2016

[INDEX] Daftar Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan

1. Sekilas Tentang Pengertian Filsafat
2. Thales ahli filsafat matematika
3. 10 Manfaat Belajar Filsafat Bagi Kehidupan
4. Sekilas Tentang Filsafat Matematika
5. biografi immanuel kant
6. apa yang menjadi persoalan filsafat
7. posisi Al-Quran dalam filsafat pendidikan islam
8. Filosofi lambang UNTIRTA
9. Sistematika belajar filsafat yang baik
10. Kutipan prosa dari kata "kopi"
11. Aristoteles : Bapak ilmu pengetahuan
12. filosofi warna kuning
13. Makna warna hijau
14. landasan filosofis pendidikan
15. Filosofis sebagai landasan pengembangan kurikulum
16. Filosofi lambang atau logo Banten
17. Filsafat matematika (Paul Ernest)
18. Pandangan absolutis dalam pengetahuan matematika
19. Ali bin Abi Thalib dan Ibu Sina ( tokoh filsafat matematika) beserta penemuannya
20. Wilayah filsafat matematika
21. Filosofi bunga lambang cinta abadi
22. Filosofi pohon seribu guna (Kelapa)
23. Filosofi logo Kabupaten Tangerang
24. Pandangan Absolutis dalam Pengetahuan Matematika
25. Filosofi warna biru bagi kehidupan
26. 3 H {head,heart,hand} maknanya bagi pemimpin
27.Penjelasan sifat orang yang lahir tgl 1-5 menurut juz Al-Qur'an
28. Angka 8 dalam kehidupan
29.Orang yang lahir tanggal 6-10 berdasarkan Juz Al-Quran
30,Orang yang lahir tanggal 11-15 didasarkan pada juz Al-Quran
31. Arti tanggal lahir ditinjau dari surat 1-10 yang ada di Al-Qur,an 
32. Arti tanggal lahir ditinjau dari surat 11-20 yang ada di Al-Qur,an 
33. Arti tanggal lahir menurut surah 21-31 di Al-Qur,an 
34. Hadits tentang waktu
35. Ciri-ciri filsafat
36. Pengertian metafisika
37. kedudukan wanita dalam Al-Quran
38. Artikel Fatawa
39. Filosofi wanita sebagai tulang rusuk laki-laki
40. Wanita dalam pandangan islam
41. 16 keistimewaan wanita dalam islam
42. Rahasia puasa ramadhan menurut imam Ghazali
43. Quote hujan
44. Makna bunga dengan bulan kelahiran januari-maret
45. Makna bunga dengan bulan kelahiran april-juni
46. Makna bunga dengan bulan kelahiran juli-september
47. Makna bunga dengan bulan kelahiran oktober-desember
48. 3 hal yang dianggap penting dalam filsafat dan pendidikan
49. Platonisme
50. Alasan empiris kuasi dapat dikritik
51. Empiris kuasi
52. Epistemologi
53. Pendekatan mempelajari filsafat
54. Pengertian hikmah dan filsafat
55. Dalil suruhan untuk membaca Al-Qur'an menggunakan tajwid
56. Hukum tajwd nun mati atau tanwin dan mim mati
57. Hukum bacaan tajwid mim dan nun tasyid, alif lam dan idgham
58. Hukum tajwid mad dan ra'
59. hukum bacaan tajwid qalqalah
60. Pengertian filsafat manusia
61. Ruang lingkup filsafat manusia
62.Filsafat Manusia dan Ilmu-Ilmu Tentang Manusia
63. Ciri-Ciri Filsafat Manusia
64. Manfaat Mempelajari Filsafat Manusia
65. Sosiologi Pengetahuan
66. Kesimpulan : Teori matematika global
67. Pengetahuan subjektif
68. Matematika adalah Sembarang dan Relatif
69. Keberatan-keberatan atas konstruktivisme sosial
70. Pendekatan kontekstual (dalam pembelajaran)
71. Pendekatan pembelajaran konstruktivisme
72.Pendekatan ppembelajaran induktif dan deduktif
73.Pendekatan Pembelajaran Konsep dan Proses
74.Psikologi pendidikan
75.Prinsip-prinsip demokrasi
76. Kejadian dan asal-usul manusia pertama sampai ketiga
77. Hakikat evaluasi kurikulum
78. Dimensi evaluasi kurikulum
79. Aliran absolutis progresif
80. Pendapat pakar tentang filsafat ilmu
81. Pengertian filsafat sosial
82. Ruang lingkup filsafat sosial
83. Bahan filsafat sosial
84. Hubungan Filsafat sosial dan sosiologi
85. Manfaat filsafat sosial
86. Hidup ibarat filsafat (filsafat hidup)
87. Pengertian Landasan Antropologi
88. Sejarah Perkembangan Landasan Antropologi Dalam Pendidikan
89. Manfaat antropologi dalam pendidikan
90. Objek kajian antropologi agama
91. Pendekatan Etnologis-Antropologis
92. Manfaat Antropologi Agama
93. Ruang lingkup filsafat
94. Persoalan Asal-Usul Filsafat
95. FIlsafat dalam priode Pra-sejarah
96. Filsafat dalam Periode Klasik
97. Karakter-karakter berpikir filsafat di zaman yunani
98. Filsafat dalam Periode Pertengahan
99. Filsafat dalam Periode Modern
100. Filsafat dalam Periode Kontemporer

Senin, 26 Desember 2016

Filsafat dalam Periode Kontemporer

Agama, ilmu, dan sumber pengetahuan lain: masalah diversitas epistemologi
b. Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mempertimbangkan nilai lingkungan dan tradisi
c. Paradigma interkoneksitas antara Agama, ilmu (science), dan sumber pengetahuan lain
d. Dari nalar objektivisme-justifikatif ke nalar kritis-komunikatif
e. Akal dikondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrument pemahaman tidak terlepas atau terkondisikan oleh realitas/diversitas-pluralitas nalar & nilai
f. Pergeseran sosial politik: Monokultulaisme ke multikulturalisme/nasionalisme ke internasionalisme

Filsafat dalam Periode Modern

Periode modern dari sejarah filsafat biasanya dimulai dari filosof-filosof pada Abad ke-16 sampai Abad ke-19. Periode modern mulai dari filosof-filosof Abad ke-16 seperti Francis Bacon dan Thomas Hobbes; kemudian filosof-filosof Abad- ke-17 seperti Rene Descartes, Baruch de Spinoza, dan Leibnizt; lalu filosof-filosof Abad ke-18 seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume, dan akhirnya filosof-filosof Abad ke-19, seperti Immanuel Kant, Hegel, Schopenhauer, dan Nietzsche.

Filsafat modern membalikkan paradigma filsafat abad tengah, skolastisisme. Karakter dari filsafat abad pertengahan memandang alam semesta dalam logika hirarkhi wujud atau konsepsi organis tentang alam semesta ini yang berujung pada Tuhan sebagai puncak dari hirarkhi ini. Segala penyingkapan pengetahuan dihubungkan dengan keberadaan Tuhan. Filosof-filosof modern tidak berarti menyalahkan begitu saja proses berfilsafat seperti ini, namun yang menjadi pertanyaan besar mereka adalah ketidakterbukaannya pada cara-cara objektif dalam melihat dan mengetahui alam dan kebebasan kritis manusia dalam mengupayakan kebenaran.

Francis Bacon, misalnya, di masa kemunduran filsafat abad pertengahan, mengritik cara-cara mengetahui yang mencampuradukkan gejala-gejala alam objektif dengan kepercayaan-kepercayaan mitologis dan religius. Cara-cara ini telah membengkokkan ilmu-ilmu perbintangan dan planet-planet yang seharusnya berupa astronomi menjadi astrologi; ilmu-ilmu alam yang seharusnya dibangun pada penyelidikan empiris menjadi ilmu-ilmu alam magis. Francis Bacon menawarkan cara mengetahui alam dengan mengamati gejala-gejalanya secara induktif. Menemukan hukum-hukum alam dari alam itu sendiri, sehingga manusia bisa menguasai dan mengontrol alam; bukan memahami alam dengan mengkaitkan dengan cerita-cerita mitologis sehingga manusia di bawa pada ketakutan dan ketidakberdayaan pada alam.

Jika Francis Bacon bereaksi terhadap filsafat abad pertengahan dengan mengambil fokus pada cara-cara induktif mengetahui alam, Réné Descartes bereaksi dengan mengambil fokus pada ketiadaan kebebasan manusia dalam berpikir. Dalam memahami realitas manusia selalu dipaksa tunduk pada doktrin-doktrin pengetahuan yang sudah ada, dan seolah potensi pengetahuan dalam diri manusia sendiri tidak boleh diaktualisasikan berseberangan dengan teori-teori pengetahuan yang sudah ada. Rasionalismenya dengan slogan filosofisnya yang sangat terkenal, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, telah menggugah masyarakat Eropa waktu itu bahwa ada bergantung pada manusia itu sendiri selama dia mau berpikir. Sejak saat itu, subjektivisme menjadi ciri filsafat baru. Subjektivisme yang dimaksud adalah kesadaran baru bahwa manusia adalah subjek realitas atau pusat realitas, menggantikan Tuhan yang selalu menjadi pusat pembicaraan. Kebebasan berpikir berkembang dan karenanya humanisme, paham yang mencoba menggali pengertian manusia dan maksud menjadi manusia, berkembang pesat. Karena pikirannya inilah, kemudian Descartes disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern. Sebenarnya, Francis Bacon pun pantas disebut sebagai filsafat modern dari segi tawaran barunya dalam mengerti alam yang bukan lagi dalam logika organisisme melainkan mekanisme; yakni dari memahami alam yang hanya sekedar berupa hubungan antar wujud-wujud yang digerakkan dan dihidupkan oleh Wujud Tertinggi berubah memahami alam dari alam secara objektif dengan mencari hukum-hukum dan mekanika-mekanika alam secara objektif yang ditemukan dengan cara-cara induktif.

Bocheński menggarisbawahi filsafat modern dua prinsip fundamental, yaitu mechanism dan subjectivism. Mekanisme sebagai prinsip dari filsafat modern adalah pemahaman alam sebagaimana diinginkan oleh Francis Bacon. Yang perlu dikembangkan manusia dalam memahami alam dengan paradigma mekanisme adalah tidak lagi memperpanjang cara mengetahui alam sebagai diciptakan dan dikuasai oleh Tuhan atau kekuatan-kekuatan mitologis dari kepercayaan-kepercayaan animistik, dan sebagai gantinya, mengatahui alam dengan melihat alam dari alam itu sendiri, belajar dari alam untuk mengerti hukum-hukum pastinya dan hidup dengannya. Subjektivisme yang dia maksudkan adalah pandangan yang mengalihkan manusia dari konsentrasi sebelumnya pada Tuhan dan menggantinya dengan manusia atau subjek sebagai pusat perhatiannya.

Dengan mengamati karakter pokok dari filsafat modern yang lahir dari respon kritikal terhadap cara berfilsafat Abad Pertengahan, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dasar dari filsafat modern adalah sebagai berkut:

a. Reformasi keagamaan
Filsafat modern tidak akan lahir jika tanpa ada gerakan internal keagamaan yang menentang hegemoni Gereja Abad Tengah. Dalam padangan para Kristiani yang melakukan gerakan protes keagamaan, Gereja tidak hanya bermasalah dengan kebebasan berpikir, kebebasan berpolitik, dan kebebasan berilmu pengetahuan, namun juga bermasalah dengan kemurnian agama Kristen itu sendiri. Gerakan protes keagamaan ini dikenal dengan gerakan reformasi keagamaan yang dipimpin oleh Martin Luther King. Inti dari gerakan ini adalah purifikasi keagamaan. Kristen telah dinodai oleh Gereja penguasa waktu itu. Mereka bermaksud membongkar borok-borok praktek keagamaan Gereja waktu itu yang menurut mereka telah menyimpang dari pesan substansial dari agam Kristen. Gerakan ini kemudian memuculkan aliran keagamaan baru yang dikenal dengan Kristen Protestan.
Kritik dan protes dari orang-orang beragama sendiri telah menggoyang hegemoni Gereja dari dalam. Gerakan reformasi keagamaan ini mengawali keruntuhan kekuasaan Gereja Abad Pertengahan yang sangat dominan. Gerakan kritik dan protes ini memberi dorongan yang kuat bagi komunitas lain selain agamawan, yaitu filosof, seniman, dan ilmuwan.
b. Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mengabaikan tabu-tabu yang menyelimuti perkembangan pemikiran manusia
c. Meningkatnya otoritas Ilmu (science) 
d. Pergeseran otoritas pemerintahan: Negara-bangsa menggantikan gereja
e. Pergeseran paradigma sosial: Feodalisme ke kapitalisme/labour intensive to capital intensive
f. Humanisme liberal/manusia sebagai fokus sentral/antroposentrisme
g. Akal mengkondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrument objektivasi realitas/uniformisasi-homogenisasi nalar & nilai

sumber : http://stiebanten.blogspot.co.id/2011/10/sejarah-filsafat.html

Filsafat dalam Periode Pertengahan

Periode pertengahan dari sejarah filsafat adalah periode antara Abad ke-8 sampai dengan Abad ke-15. Periode pertengahan biasanya memasukkan pemikiran filosof-filosof seperti St. Anselm, St. Thomas Aquinas, Duns Scotus, William of Ockham, Maimonide, dan termasuk para filosof muslim, seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rushd, dll.

Zaman (abad) pertengahan dikenal sebagai abad keemasan bagi dunia Kristen dan dibalik itu dunia filsafat dan ilmu pengetahuan terjadi kemunduran (jumud) bahkan pada masa ini filsafat dan ilmu pengetahuan adalah identik dengan agama. Sebab agama (Kristen) yang bersifat dogmatik cenderung menolak keberadaan filsafat dan ilmu, dianggap gerejalah sebagai pusat kebenaran (The Trust is in The Church). Jadi ukuran kebenaran adalah apa yang menjadi keputusan gereja, gereja sangat otoriter dan otoritas gereja harus ditegakkan.
Ekses yang dirasakan pada saat ini adalah tidak adanya kebebasan berpikir seperti yang dialami pada masa Trio filosof dan hasilnya banyak para pemikir yang dijebloskan kedalam penjara seperti Galile Galilio, Cicero adalah ilmuan dan pemikir kondang pada saat itu dan tidak ketinggalan adalah Copernicus seorang astronom.
Sedemikian berkuasanya dan dominannya gereja maka masa ini dikenal juga sebagai zaman Patristik dan Skolastik. Disebut zaman Patristik diambil dari kata Patres artinya Bapa-Bapa Gereja, yang mana fase ini dikuasai oleh para teolog dan tokoh gerejani, seperti Augustinus (354-430 AC). Kemudian disebut Skolastik berarti guru[8], atau sarjana yang menjadi pengajar seperti Thomas van Aquinas (1225-1274 AC) dan Bonaventura (1217-1274 AC).
a. Pemahaman rasional ke pemahaman dogmatis religius
Abad pertengahan sering disebut sebagai jaman agama-agama. Agama-agama telah menjadi cara pandang dunia manusia. Para filosof pada era ini memang tidak sepenuhnya menolak berpikir rasional, namun mereka tidak mempercayai kebenaran akal kecuali sejalan dengan dogma-dogma religius. Mereka menempatkan dogma religius lebih dulu daripada kebenaran rasional. Pemikiran rasional dalam periode Pertengahan dari sejarah filsafat tidak berjalan otonom dan independen, dan sebagai gantinya ia menjadi budak teologi. Salah satu karakter dasar dari filsafat Abad Tengah adalah ketiadaan kemandirian yang penuh dari akal, dia bekerja sebagai pembenar dogma-dogma agama. Pemikiran rasional digeser oleh pemahaman dogmatis religius. Sejarah telah memberitahu kita bagaimana kasus Galileo yang menyuarakan kembali teori astronomi heliosentrisme harus menghadapi hujatan dan ancaman Gereja yang menetapkan teori geosentrisme sebagai kebenaran dogmatis Gereja.

b. Dogmatisme religius sebagai kebenaran otoritatif
Fakta rasio sebagai abdi dogmatisme teologis di Abad Pertengahan telah menempatkan dogmatisme religius sebagai sebagai kebenaran otoritatif. Kebenaran rasional yang dipandang tidak bisa dipegangi mendorong para filosof menggunakan akal sebagai alat pendukung dan justifikasi atas kebenaran dogmatisme religius yang telah ditetapkan oleh para otoritas religius. Berfilsafat pada era ini adalah berteologi. Kritik terhadap dogmatisme religius merupakan suatu kesalahan. Padahal boleh jadi agamanya sendiri belum tentu mengatakan seperti yang diberikan oleh hasil pemahaman religus, yakni suatu dogmatisme religus tertentu. Kritik akal terhadap teologi tidak harus dimengerti menentang kebenaran religius, melainkan bisa dimengerti sebagai pelurusan kesalahan pemahaman religius. Namun, dalam era ini, dogimatisme religius telah menjadi ukuran kebenaran yang harus diikuti. Ini merupakan kenyataan sejarah yang tak bisa diingkari pada sejarah filsafat dan Gereja di Abad Pertengahan.
c. Teosentrisme dan kosmosentrisme heteronom
Filsafat Abad Pertengahan yang tabu melakukan kritik terhadap teologi atau dogmatisme religius yang dipegangi saat itu telah mendorong filsafat berkarakter pembenar teologi. Seluruh realitas dijelaskan dan dibenarkan oleh dogma-dogma agama, dan filsafat hanya berusaha menguatkan kebenaran dogma-dogma agama tersebut. Dogma-dogma religius diyakini sebagai benar yang tak boleh disalahkan karena datang dari Tuhan. Filsafat di era ini, oleh karenanya dicirikan secara fundamental dengan teosentrisme, karena pusat filsafat mereka adalah teologi. Mereka juga mencoba menjawab persoalan-persoalan terkait dengan alam semesta atau kosmos seperti para filosof Yunani, hanya saja cara filosof-filosof Abad Pertengahan menjawab persoalan-persoalan tersebut tidak menggunakan rasio secara independen seperti halnya para filosof Yunani, karena mereka menjawabnya dengan menggunakan dogma-dogma religius yang ada. Kosmosentrisme pada era ini bukan bersifat otonom, melainkan heteronom, yakni menjawab misteri alam dengan menggantungkan jawabannya pada jawaban yang sudah ada di dalam dogma-dogma agama.

sumber : http://stiebanten.blogspot.co.id/2011/10/sejarah-filsafat.html

Karakter-karakter berpikir filsafat di zaman yunani

Dilihat secara sederhana, secara umum filsafat di jaman Yunani sebagai awal mulainya filsafat secara akademik memiliki setidaknya karakter-karakter berpikir seperti dijelaskan di bawah ini:

a. Pemahaman mitologis ke pemahaman rasional
Ciri mendasar dari filsafat pada awal kelahirannya di Yunani kuno adalah penggeseran cara memahami alam atau dunia dan realitas yang berkenaan dengan manusia dan kehidupannya dari cara pemahaman mitologis ke cara pemahaman rasional. Melawan tradisi memahami alam dan persoalannya “dari luar” manusia, yakni selalu merujuk pada kepercayaan-kepercayaan mitologis yang ada dalam masyarakat Yunani yang menyembah banyak dewa-dewi, para filosof awal mencoba untuk memahami alam dan persoalannya “dari dalam”, yakni dari kemampuan yang ada dalam diri manusia yang berupa akal.
Dengan percaya pada kemampuan rasio, mereka mencoba memberikan jawaban-jawaban spekulatif tentang asal-usul alam, tentang siapa manusia dan eksistensinya di tengah alam semesta. Pergeseran ke cara berpikir dan memahami dunia melalui kemampuan rasional manusia itu sendiri secara otonom dan independen tanpa hegemoni pengetahuan di luar manusia yang sudah ada menjadi ciri yang menonjol di periode klasik dalam sejarah filsafat ini. Munculnya cara baru ini menimbulkan ketegangan dan konflik antara masyarakat kelas dominan yang sarat dengan keyakinan mitologis-religius dan para pemikir dan kritikus yang dikenal sebagai filosof. Contoh nyata konflik ini adalah eksekusi mati filosof besar pertama Yunani, Socrates.
b. Akal sebagai instrument otoritatif pemahaman
Para filosof awal Yunani mengenalkan bagaimana mereka memulai untuk mempercayai akal yang ada dalam diri manusia dalam memahami misteri kehidupan manusia. Akal menjadi instrumen otoritatif pemahaman manusia dalam menjawab persoalan-persoalan manusia dalam hubungannya dengan alam dan dunia di sekitarnya. Mereka lebih percaya pada kekuatan akal, bahkan Socrates sendiri meyakini dalam diri manusia terdapat kebenaran, yang ia bisa didorong termanifes keluar melalui proses dialektik, bertanya dan menjawab, bertanya dan menjawab demikian seterusnya sampai hakikat kebenaran bisa dimengerti.
Socrates menyebut cara ini dengan cara seperti seorang bidan yang membantu keluar bayi dari perut ibunya. Berpikir dialetik adalah cara membantu mengeluarkan kebenaran yang sudah ada dalam diri manusia, atau dalam akal manusia, yang kemudian cara akal menemukan kebenarannya sendiri ini populer dikenal dengan metode maieutik dialektis kritikal. Maieutika artinya kebidanan. Ibu Socrates berprofesi sebagai bidan, cara ibunya ini dipakainya untuk konteks pencarian kebenaran dalam dan melalui pikiran manusia. Dialektika berasal dari bahasa Yunani, dialegesthai yang berarti bercakap-cakap. Kritikal berarti mengajukan keberatan-keberatan yang dipandang ganjil, kontradiktif, dan tidak make sense atau masuk akal.
Dengan metode maieutik dialektis kritikal, dalam upaya menemukan hakikat kebenaran tentang sesuatu, Socrates melakukan percakapan dengan orang lain, bertanya untuk mendapatan jawaban, dan menyoal jawaban yang masih sulit untuk diterima dengan bertanya yang lebih dalam dengan berharap ada jawaban baru yang lebih bisa diterima akal, demikian seterusnya. Proses ini membantu manusia mengeluarkan kebenaran yang ada dalam jiwanya sendiri. Apa yang dilakukan Socrates yang terpenting yang perlu digarisbawahi adalah menempatkan akal sebagai alat otoritatif dalam menemukan kebenaran atau dalam memahami hakikat realitas. Cara ini telah menradisi sebelumnya dalam diri Thales, anaximenes, Pythagoras, dan lain sebagainya, dan semakin menguat sesudah Socrates.
c. Kosmosentrisme otonom
Filsafat Yunani awal lebih banyak berupa upaya menjawab persoalan tentang alam semesta. Para filosof mencoba menjawab asal-usul alam, bahan terdasar yang darinya alam ini tersusun, apakah hakikat gerak itu sebagaimana mereka mengamatinya sebagai fenomena alam, dan seterusnya. Seperti telah dikatakan, mereka menjawab sepenuhnya bergantung pada kekuatan akal, bukan bergantung pada pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada dalam kepercayaan-kepercayaan mitologis masyarakatnya. Filsafat mereka bercorak sangat kosmosentris.

Coraknya secara lebih tepat disebut kosmosentrisme otonom. Kosmosentrisme karena berfilsafatnya berpusat pada persoalan alam semesta. Otonom karena dalam menjawab masalah-masalah tentang alam semesta para filosof menggunakan kekuatan pemahaman rasional dalam diri manusia, tidak mengambil pengetahuan yang sudah ada di luar pikiran manusia. Mereka berpikir independen dengan kekuatan akal manusia dalam memahami alam semesta.

sumber : http://stiebanten.blogspot.co.id/2011/10/sejarah-filsafat.html

Filsafat dalam Periode Klasik

Periode klasik dari sejarah filsafat biasanya banyak disebutkan dimulai dari filosof-filosof pra-Socrates, seperti Thales, Anaximenes, Anaximander, Parmenides, Heraclitus, Pythagoras, dan Democritos. Dari filosof-filosof pre-Socrates, kemudian diikuti filosof-filosof Yunani legendaris, seperti Socrates, Plato, Aristoteles. Setelah mereka, periode klasik sejarah filsafat diakhiri dengan serentetan filsafat mulai dari neoplaonisme, epicureanisme, skeptisisme, stoisisme, dan rumusan-rumusan paling awal dari pemikiran-pemikiran orang-orang Yahudi dan Kristen.

Oleh karena itu, sejarah filsafat periode klasik, yaitu pada jaman Yunani Kuno, sering dalam literatur-literatur filsafat dibagi menjadi dua peiode. Ada yang menyebut Periode Klasik I dan Periode Klasik II, ada yang menamai Periode Yunani Kuno dan Yunani Setelah Klasik, dan lain sebagainya. Tulisan ini lebih suka menggunakan Yunani Periode Sebelum Socrates, Yunani Periode Trio Filosof Legendaris, dan Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.

a. Yunani Periode Sebelum Socrates (600-400 SM)

Zaman Yunani sebelum Socrates (600-400 SM) merupakan masa pertumbuhan pemikiran filosofis yang membedakan diri dari kondisi pada saat itu yang didominasi pemikiran-pemikiran mitologis. Para filosof cenderung menawarkan pemikiran rasional yang penuh dengan argumen logis yang sebelumnya menganggap bahwa alam tercipta karena adanya dewa Apollo, atau dewa-dewa yang ada di planet lain.

Argumen yang ditawarkan para filosof masa ini cenderung menganggap alam ini berasal dari air demikian dikemukakan oleh Thales (625-545 BC). Bahkan Thales menambahkan bahwa air adalah segala sesuatu, sebab air dibutuhkan oleh semua yang ada. Air dapat diamati dalam bentuknya yang bermacam-macam. Air dapat berbentuk benda halus (uap), sebagai benda cair (air), sebagai benda keras (es). Air dapat diamati di mana-mana, di laut, di danau atau di tempat amndi bahkan di makanan sekalipun. Berbeda dengan Thales, Anaximandros (610-540 BC) mengatakan bahwa realitas terdasar bukanlah air melainkan to apeiron yaitu sesuatu yang tidak terbatas. Sebab air masih ada lawannya adalah api. Api tidak mungkin berasal dari air. Oleh sebab itu to apeiron pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak terbatas. Alam terjadi dari to aperion disebabkan oleh adanya penceraian (ekliresis) dari yang tidak terbatas (to apeiron), dilepas unsur-unsur yang berlawanan seperti panas dan dingin, kering dan basah dan sebagainya, selain itu juga ada hukum keseimbangan. Anaximenes (538-480 BC) berpendapat lain bahwa alam ini berasal hawa dan udara. Heraklitos (540-475 BC) mengatakan bahwa segala sesuatu menjadi, segala yang ada bergerak terus menerus, bergerak secara abadi artinya perubahan adalah pangkal dari yang ada. Lain halnya Parmindes (540-475 BC) yang bertolak belakang dari Heraklitos.

Filosof-filosof awal pada periode ini mengenalkan suatu cara baru dalam memahami dunia di sekitarnya. Cara baru mereka adalah berpikir memahami dunia atau alam semesta dengan cara yang non-mitologis. Mereka menggunakan daya nalar rasional untuk menjelaskan alam semesta. Mereka tidak memahami alam dari luar diri manusia, seperti hanya mengambil jawaban dari mitos-mitos yang sudah ada, melainkan dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni dengan menggunakan rasio atau akal manusia itu sendiri.

b. Yunani Periode Trio Filosof Legendaris

Periode ini adalah masa yang terbentang antara 500-300 SM di Yunani Kuno. Era ini merupakan pola pemikiran Yunani Klasik yang sangat menonjol dari segi analisis rasionalnya. Era ini bersinar dan berpengaruh luas ke seluruh dunia karena pemikiran tiga filosof Yunani yang legendaris, yaitu Socrates (470-400 SM), Plato (428-348 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).

Trio filosof besar diataslah yang banyak memberikan kontribusi besar terhadap dunia filsafat dan ilmu pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa puncak filsafat Yunani dicapai pada zaman ini. Banyak sekali temuan filosofis yang disumbangkan pada zaman ini antara lain Sokrates menyumbangkan tentang nilai kebaikan yang dicapai melalui pengetahuan tentang apa yang baik itu. Plato merupakan penggabung pemikiran Heraklitos dan Parminedes dan melahirkan tentang faham idealisme. Idealisme Plato menekankan tentang alam idea yang menjadi sumber dari yang tampak sebagai fenomena. Ia berkesimpulan sebenarnya realitas yang tampak itu secara empiris itu bukan merupakan realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya adalah apa yang ada dibalik realitas yang tampak. Plato meyakini bahwa dalam pikiran manusia terdapat ide-ide bawaan. Ide-ide ini akan terpanggil kembali ketika melihat hal-hal, benda-benda, atau realitas yang bisa dipersepsi. Pengetahuan tidak lebih dari proses rekoleksi ide-ide yang telah ada secara bawaan melalui pengamatan terhadap benda-benda atau kejadian-kejadian empiris.

Berbeda dengan Plato yang berbicara tentang sesuatu yang ada secara hakiki dalam ide, Aristoteles murid dari Plato berseberangan dengan pandangan gurunya. Dia cenderung mengabaikan ide sebagai sesuatu yang ada secara sejati, dan mengatakan bahwa benda-benda dan kejadian-kejadian ada dan terjadi secara empiris yang bisa dilpersepsi merupakan realitas-realitas yang ada secara nyata, bukan fatamorgana. Dari pemikirannya ini lahir paham realisme. Realisme merupakan paham filsafat yang mengakui bahwa yang ada secara empiris adalah ada meskipun ia tidak dipersepsi atau dipikirkan, sebagaimana nyatanya pemikiran yang menghasilkan gagasan atau ide.

Ketiga tokoh inilah sebagai cikal bakal pengembangan ilmu pengetahuan, karena merekalah yang memulai berpikir mikrokosmos yakni memasuki alam dan seisinya termasuk manusia. Aristoteles membagi filsafat menjadi empat : Logika, Filsafat Teoritik : metafisika, fisika dan matematika, Filsafat Praktik : politik, ekonomi dan etika, serta Filsafat Poetika yakni estetika . Inilah landasan ontologik ilmu pengetahuan dan sekaligus juga landasan epistimologik. Pandangan Aristoteles memetakan adanya konsep filsafat sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan.

c. Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.

Gagasan trio filosofis ini diteruskan oleh filosof-filosof berikutnya sebagai upaya meneruskan dan mengembangkan pemikiran mereka. Tercatat adanya Stoisisme berbicara tentang etika, juga Epikurisme tentang etika. Selanjutnya yang paling berpengaruh adalah Neo-Platonisme filosof dari Mesir yang bernama asli Plotenus (205-270 BC) yang merupakan pendukung Trio Filosof. Ia cenderung mengatakan bahwa seluruh kenyataan ini merupakan suatu proses emanisasi, yang berasal dari yang Esa. Yang Esa adalah sumber dari yang ada. Konsep ini banyak dikembangkan kedalam nilai-nilai dari doktrin agama. Sebab ada relevansinya dengan kaidah agama, untuk memperkuat doktrin agama digunakan argument akal seperti yang ada dalam pandangan Neo Platonisme. Jadi ilmu pengetahuan pada saat ini bukan hanya bergerak dari masalah makrokosmos ke mikroskosmos bahkan melampaui pada hal-hal yang berada pada masalah metafisik. Zaman ini berlangsung hingga awal abad pertama masehi.

sumber : http://stiebanten.blogspot.co.id/2011/10/sejarah-filsafat.html

FIlsafat dalam priode Pra-sejarah

Yang sampai pada kita tentang informasi historis mengenai filsafat dalam periode paling awal adalah dari tradisi Yunani Kuno, ketika Thales dan kawan-kawan mencoba menjawab misteri asal-usul alam semesta dengan cara-cara rasional yang kemudian tradisi berpikir ini oleh Pythagoras disebut ФіλοσοФіα atau Philosophia. Informasi ini sampai karena pikiran-pikiran mereka terekam dalam bentuk tulisan. Thales dan pemikir-pemikir semasanya waktu itu juga tidak pernah menyebut pemikirannya dengan filsafat, namun cara-cara berpikir mereka yang baru dalam mengerti dunia yang berbeda dengan cara-cara orang yang hanya mengerti dunia dengan mengikuti mitos-mitos yang ada ini oleh orang setelahnya dinamai aktivitas berpikir awal yang disebut filsafat.

Boleh jadi orang-orang yang berpikir seperti cara-cara berpikir Thales dan kawan-kawannya juga bisa ditemukan jauh sebelum Thales dan kawan-kawannya. Sayangnya, tidak ada jejak tertulis untuk mengenali tradisi berpikir orang-orang dulu jauh sebelum era Yunani Kuno yang pantas dipayungi dengan istilah filsafat. Untuk mengapresiasi mereka dalam periodisasi sejarah filsafat, mereka perlu diberi tempat masuk dalam periode sejarah filsafat pra-sejarah.